Revan tak menyangka semua akan secepat ini. Ia, begitupun Nina, mereka sama-sama terkejut ketika mendengar bahwa keluarga masing-masing telah saling bertemu, telah saling mempersiapkan gaun tanpa persetujuan kedua mempelai, sudah menyebar undangan, dan sudah mendekorasi gedung.
Terlebih lagi, Revan terkejut karena.... "APA MA? LUSA REVAN MENIKAH?!" Ia mengerang frustasi, sementara Mamanya hanya mengangguk sambil menatap anaknya yang gusar.
"Memang kenapa sih, Van? Besok atau bertahun lagi, semua akan sama, kalian tetap akan menikah."
"Tapi ma, masalahnya... Ck, Revan bahkan belum siap. Ini terlalu cepat!" Emosinya membuat Revan membanting tubuhnya sendiri ke sofa putih di ruang tamu. Ia menutup wajah dengan telapak tangannya.
Frustasi. Itulah yang Revan rasakan. Bahkan Revan tak tau, apakah Nina sama frustasinya seperti dia?
"Revan.." Emily bangkit dari sofa yang ia tempati, dan duduk di sofa tepat di sebelah Revan. Ia mengusap pundak anaknya lembut. "Tiap orang butuh persiapan yang lama untuk menikah. Tetapi kan kamu gak butuh persiapan, karena semua yang kamu dan Nina butuhkan, sudah mama persiapkan dengan sempurna."
"Ma?" panggil Revan lembut.
Emily menoleh dengan cantiknya. Sungguh, diantara wanita manapun, Revan merasa bahwa mamanya lah yang tercantik.
"Kenapa sih mama ngebet banget nikahin aku sama Nina? Aku bahkan belum wisuda. Dan aku bahkan masih pengen ngeband sama temen-temen aku.."
Wanita paruh baya itu menatap putranya yang menatapnya dengan tatapan serius. Dan lagi, Emily mengusap rambut anak tunggalnya itu. "Karena mama tau dia yang terbaik."
"Dia? Nina maksudnya?"
"Iya, Nina.. Dia orang yang tepat dan sempurna untuk kamu. Dia sopan, baik, apa adanya, dan mama bisa lihat kalau dia memang sayang sama kamu."
Revan mengernyitkan keningnya. Nina suka sama gue? Masa sih?
"Kamu tau kan kalau mama gini-gini psikolog? Dari gerak gerik, dimana ia selalu menghindari banyak kontak mata dengan kamu karena dia selalu merona tiap kalian saling menatap."
Iya sih, Nina memang sering membuang muka..
"Dari sikapnya, yang seolah selalu luluh dan tunduk sama kamu, karena dia terlalu menghormati kamu."
Tunduk? Ya, dia dengan mudahnya hampir-menjadi-budak-pemuasku. Dan bahkan ia tak marah atau merasa kotor. Astaga.
"Dan banyak ciri-ciri lain, yang mengatakan bahwa dia memang menyukai--atau lebih tepatnya, menyayangi kamu," kata Emily di akhir penelitiannya.
"Terus menurut mama, apa aku juga suka sama Nina, sampai mama nekat ambil keputusan untuk aku dan Nina bersatu?"
Emily berdeham. "Kamu memang nggak mencintai Nina. Atau lebih tepatnya belum."
"Kenapa mama begitu yakin?"
"Karena ada sesuatu dalam diri Nina, yang pelan-pelan akan membuat kamu sayang, bahkan cinta sama dia."
Banyak yang berkecamuk di pikiran Revan. Apa iya Nina memang mencintainya? Dan apa iya ia bisa mencintai Nina pada akhirnya, sementara hingga saat ini, iapun belum punya rasa apa-apa terhadap Nina.
Melihat Revan yang begitu kacau, Emily tersenyum. "Revan.. Kalau kamu tak bisa menikahi Nina untuk dirimu sendiri.. Lakukan pernikahan itu untuk membahagiakan mama.. Karena mama benar-benar yakin bahwa Nina tepat untuk kamu. Bahwa Nina baik adanya, tak seperti Ta--"
"Oke, ma, oke." Revan menghela nafas. Paling sebal jika mamanya sudah membicarakan dan menjelekkan Tamara. Apalagi jika membandingkannya dengan Nina.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Un)perfect Marriage [END]
RomanceKarina Tessa Ananda : Tak tau bagaimana, tiba-tiba aku merasakan cinta begitu dalam pada pria yang sama sekali tak menginginkanku. Aku tau, mungkin saja pernikahanku dan dia akan berakhir buruk. Tetapi--entah kenapa, aku selalu ingin memperjuangkan...