Saktya menatap pria di depannya dengan tajam. Tangannya masih mengamit Katya erat. Pria itu berjalan mendekat, membuat Saktya mundur selangkah.
"Nak, Papa-"
"Mau ngapain lagi kesini!?" Seru Saktya tajam. Suara Saktya bergema di lorong koridor yang sepi itu. Katya mengusap lengan Saktya pelan, menenangkannya.
"Papa bisa jelasin, Nak." Suara Pria itu terdengar berat. Saktya memejamkan matanya perlahan, berusaha meredam emosi yang menggebu ditubuhnya.
"Papa bisa jela-"
"Nggak ada yang perlu papa jelasin lagi! Nggak ada! Semuanya udah jelas." Saktya membasahi bibirnya yang kering. Ia tertawa sinis.
"Papa lebih milih wanita jalang ini-"
"Saktya jaga bicaramu Saktya!" Saktya menatap pria didepannya dengan sinis.
Demi Tuhan bagaimana mungkin ia bisa membenci sosok yang selama ini menjadi panutan hidupnya?
"Saktya begini juga karena papa!" Saktya menunjuk perempuan yang berdiri disamping Papanya dengan dagu.
"Kalo dulu papa nggak kabur sama wanita ini, mungkin Saktya masih menghormati Papa."
"Saktya bisa nerima papa sama wanita lain. Saktya ngerti papa sama mama nggak bisa satu lagi. Tapi bukan berarti Saktya nerima papa nikah sama wanita itu."
Pria itu menatap Saktya lekat-lekat. Deru napas dari keduanya memburu. Suasana mencekam menyelubungi mereka berempat.
"Kalo papa kesini cuma mau bahas pernikahan itu, lebih baik papa pulang. Karena mau sampe kapanpun Saktya nggak sudi nerima berita buruk itu."
Pria itu kembali maju selangkah, membuat Saktya menegakkan posisi badannya, menyembunyikan Katya dari pandangan dua orang tersebut.
"Apalagi?!"
"Papa tahu papa salah, Nak. Maafin papa." Saktya berdecih pelan.
"Kalo papa tahu ini salah, kenapa papa masih mau meneruskan pernikahan ini!?"
Pria itu mengusapkan wajahnya yang keruh. "Karena papa sayang sama kalian."
"KALO PAPA SAYANG SAMA KAMI PAPA NGGAK AKAN MUNGKIN NIKAHIN DIA!!" Katya memejamkan matanya saat mendengar seruan keras Saktya.
Saktya menatap pria itu tajam. "Papa nggak pernah mikirin keadaan kami. Papa nggak pernah mikirin kondisi perasaan mama, perasaan Saktya bahkan perasaan Darlo sekalipun."
"Papa udah hancurin kebahagian Saktya. Papa udah renggut Darlo dari Saktya." Pria itu bungkam seribu bahasa.
"Emang papa bisa balikin Darlo ke Saktya sama Mama lagi? Nggak kan?" Saktya menatap tajam perempuan yang berada di hadapannya. Perempuan itu berdiri mematung.
"Wanita murahan." Detik berikutnya sebuah tamparan melayang ringan di pipi kiri Saktya, membuat telinganya berdengung.
"Papa tahu kamu benci sama papa! Tetapi bukan berarti kamu bisa seenaknya mencaci maki calon istri Papa!" Saktya menyeka darah disudut bibirnya yang robek akibat tamparan tersebut.
"Pergi!" Seru Saktya pada kedua orang tersebut. Pria itu mengamit tangan perempuannya.
"Papa kesini datang baik-baik Saktya."
"SAKTYA BILANG PERGI DARI SINI!!" Pria itu menghela napasnya panjang.
"Saktya nggak akan biarin papa ketemu sama Darlo! Nggak akan!"
Pria itu menatap anak bungsunya untuk terakhir kali dengan kecewa sebelum pergi bersama Latya. Selepas kepergiaannya tubuh Saktya sukses ambruk, jatuh terduduk dilantai. Sementara Katya menghembuskan napasnya yang sedari tadi ia tahan. Katya menatap punggung yang bergetar itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yours
Roman pour AdolescentsKarena kita tidak akan tahu cinta datang dalam bentuk apa.