• Pergi dan Tak kembali •

118 15 12
                                    

Langkah kaki Karel bergema di sepanjang lorong rumah sakit itu. Sesekali ia meminta maaf terhadap orang-orang yang ditabraknya secara tidak sengaja. Ia mempercepat langkah kakinya menuju ruang ICU. Bibirnya terus merapalkan beribu-ribu doa untuk keselamatan Ibunya.

Tadi selepas ia keluar dari ruang OSIS dan berniat untuk masuk ke kelasnya, mendadak pihak rumah sakit menghubunginya dan mengatakan bahwa Ibunya mengalami kritis. Berita itu sanggup membuat tubuhnya tegang. Tanpa pikir panjang lagi, ia pun segera bergegas menuju rumah sakit. Bahkan ia lupa untuk minta izin kepada guru piket. Jangankan untuk mengurus itu, untuk bernapas saja rasanya sulit.

Langkah kaki Karel berhenti tepat di depan ruang ICU. Ia membungkuk, mengatur napasnya dengan susah payah. Suara decitan pintu terdengar, membuat ia kembali menegakkan tubuhnya dengan cepat.

"Dokter, gimana keadaan Ibu saya!?" Tanyanya dengan napas menderu. Dokter itu melepas kacamatanya sejenak lalu menatap Karel dengan simpati. Sejujurnya, Karel benci dengan tatapan itu. Seakan-akan memang semuanya sudah tidak bisa diperjuangkan lagi.

"Ibumu sudah melewati masa kritisnya tetapi beliau masih koma. Kami sudah mengerahkan semuanya secara maksimal tetapi Ibumu tidak menunjukkan tanda-tanda sadar. Sebaliknya, kondisi fisiknya tiap hari semakin memburuk."

"Dokter saya mohon lakukan apa saja untuk menyembuhkan Ibu saya!" Seru Karel frustasi. Dokter tersebut memegang kedua bahu Karel seraya menghela napas panjang.

"Kami tidak bisa berbuat lebih banyak lagi. Hanya keajaiban satu-satunya yang dibutuhkan beliau saat ini." Dokter itu menepuk pundak Karel tiga kali sebelum menghilang dari pandangannya.

Tubuh Karel merosot bersandar pada tembok. Kakinya sudah lemas, tak kuat lagi untuk menopang tubuhnya. Ia memejamkan mata, menahan tangisnya sekuat tenaga.

Apa benar ini waktunya untuk menyerah?

☆☆☆☆☆

Langkah kaki Karel beradu dengan lantai keramik yang ia pijak. Sesekali para perawat menyapanya dengan sopan. Akibat sudah terlalu sering ia datang kesini, ia sudah akrab dengan orang-orang didalamnya. Hari ini ia membolos lagi. Entah sudah berapa poin yang ia dapatkan untuk kelakuannya ini, Karel tak peduli. Yang terpenting sekarang adalah kondisi Ibunya yang sedang koma.

Ini sudah hari kelima tetapi Ibunya tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Seakan-akan memang dia butuh istirahat yang lama setelah lelah menghadapi anak semata wayangnya yang nakal ini. Karel menjinjing kantong plastik yang berisi beberapa buah-buahan. Ia juga tak lupa membawa beberapa buku sekolahnya. Meskipun ia tak masuk sekolah, ia tak pernah lupa untuk menanyakan tugas dan catatan kepada ketua kelasnya, Gilang.

Satu tangannya memegang kantong plastik sementara tangan lainnya mengutak-atik ponselnya. Beberapa pesan dari teman-temannya ia baca satu per satu. Ada yang menanyakan kabarnya. Ada yang memberikan jadwal basket. Ada juga yang menyuruhnya untuk segera masuk karena tugas sudah menumpuk menantinya.

Tangan Karel berhenti pada satu pesan dari aplikasi LINE miliknya. Satu diantara puluhan pesan lainnya yang membuatnya tersenyum kecil.

Teman Hidup 😘 : Ngilang kemana, Rel?
Teman Hidup 😘 : Karellll lo kemana deh?
Teman Hidup 😘 : Gue nggak mau ngerjain tugas Pak Samsul sendirian. Kan ini tugas kelompok! 😭😭
Teman Hidup 😘 : Bangke lo, Rel.

YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang