Karel langsung masuk ke dalam kamarnya begitu mereka tiba di mansion itu. Katya menghela napas berat. Sejak semalam, Karel menjadi lebih pendiam dari biasanya. Tidak ada lelucon, tawa bahkan sapaan seperti biasanya. Rumah ini menjadi lebih dingin dibanding sebelumnya.
"Katya?" Katya menoleh, mendapati Ayah Karel berdiri di ambang pintu kamarnya.
"Boleh saya mengobrol sebentar denganmu?" Katya mengangguk ragu lalu mengikuti pria tersebut menuju halaman belakang.
Halaman belakang itu luas, melebihi halaman depan. Terdapat kolam renang dan gazebo disana. Beberapa bunga juga di taman disana. Bunga-bunga cantik itu sedang bermekaran hari ini.
"Bunga-bunga itu Ayu yang menanamnya." Ujar Ayah Karel membuka topik obrolan. Katya menoleh, menatap pria tersebut dalam diam.
"Ayu suka sekali dengan tanaman. Semua tanaman yang ada di rumah ini dia yang menanamnya. Dia sangat teliti dalam merawat bunga."
"Penyakit itu, penyakit itu sudah menyerang Ayu bertahun-tahun yang lalu bahkan sebelum Karel lahir. Penyakit itu divonis duq tahun setelah pernikahan kami. Lalu setahun berikutnya Ayu hamil. Awalnya saya selalu menolak itu. Kehamilan hanya akan memperburuk keadaannya. Tetapi Ayu tetap mempertahankannya."
"Dulu, pengobatan tidak secanggih sekarang. Saya masih ingat bagaimana saya harus berjuang mencari obat-obatan herbal untuk Ayu. Bahkan saya rela mencari hingga ke pelosok Cina untuk mencari obat-obatan herbal. Memperjuangkan Karel, seperti mempertaruhkan nyawa Ayu."
"Tapi semua itu terbayarkan saat mendengar tangisan pertamanya hari itu. Saya nggak tahu lagi gimana bahagianya saya saat melihat mata kecil itu menatap saya." Ayah Karel menghembuskan napasnya berat.
"Setelah melahirkan, tubuh Ayu sempat mengalami drop yang luar biasa. Dia sempat koma selama dua bulan lebih. Hal itu sempat membuat saya takut. Saya takut Ayu akan pergi meninggalkan saya dan Karel saat itu juga."
Katya menatap air kolam renang yang tenang. Pikirannya berkecamuk.
"Tuhan mendengarkan doa-doa saya. Ayu sadar dan kesehatannya membaik. Bahkan setelah itu kanker yang diidapnya dinyatakan hilang dari tubuhnya. Hal itu membuat saya senang dan kami bisa hidup bahagia. Tapi setahun yang lalu, penyakit itu kembali datang bahkan semakin parah. Saya memutuskan untuk bekerja lebih giat lagi untuk pengobatan Ayu. Tetapi hal itu ditanggapi Karel berbeda. Ia menganggap saya berubah, melupakan Ayu dan dia."
Katya melihat Ayah Karel menyeka sudut matanya. Napasnya terlihat berat.
"Tahun lalu, saya mendapat kerja sama dengan sebuah perusahaan di Bali. Hal itu tak saya sia-siakan. Saat Ayu mengetahuinya, betapa bahagianya dia bahwa rekan bisnis saya sahabatnya sejak SMA. Semenjak itu ia selalu menghubungi saya tentang perkembangan bisnis saya."
"Puncaknya terjadi enam bulan yang lalu. Saat Karel tidak ada di rumah sakit, Ayu meminta saya untuk datang seorang diri. Ia menyampaikan pesan terakhirnya untuk saya. Saya harus menjaga Karel sebaik-baiknya selepas ia pergi dan ia..."
Tanpa sadar Katya menahan napas. Kalimat menggantung itu sangat membuat Katya gugup.
"Ayu meminta saya untuk menikahi Henna, rekan bisnis sekaligus sahabatnya."
Tenggorokan Katya seperti tercekat. Ia tidak tahu harus merespon apa.
"Saya menolak keras kemauannya. Tetapi ia tetap bersikukuh. Ia selalu mengatakan pergi dan tak kembali setiap harinya, membuat saya hampir gila. Karel, Karel alasan saya menolak keras kemauan Ayu. Saya selalu memberikan pengobatan yang terbaik untuk Ayu. Bahkan saya yang mengajukan untuk memindahkannya ke Jerman. Tetapi Ayu menolaknya. Selain menurutnya buang uang, pengobatan ini juga akan sia-sia saja."