• Resah •

104 17 0
                                    

Bunyi suara ketel membuyarkan lamunan Saktya. Ia menghembuskan napasnya pelan-pelan dan mematikan kompor. Ia menyeduh Earl Grey dalan cangkir beningnya.

Setelah mengurus berkas-berkasnya di kampus baru, Saktya memang memutuskan untuk kembali ke flat Nadine. Percakapannya dengan Nadine sebelum ia menuju kampus sukses membuatnya uring-uringan seharian ini.

"Kamu itu terlalu naif, Saktya." Sahut Nadine saat Saktya selesai membicarakan perihal Katya dan ingatan Darlo. Saktya menyandarkan tubuhnya pada sofa berwarna hitam. Ia mengusap wajahnya pelan lalu menatap Nadine dengan lesu.

"Aku nggak tahu apa yang mau kamu tunjukin disini. Tapi dengan mengambil keputusan kamu saat ini, seseorang telah tersakiti secara tidak langsung."

"Katya. Katya yang selama ini tidak tahu permasalahan kamu dengan Darlo menjadi pelampiasannya. Dia orang baru. Dia nggak tahu apa-apa, Saktya. Jangan karena dia mirip sama Latya, terus kamu bisa seenaknya serahin kesalahan yang telah Latya perbuat."

"Cepat atau lambat, Darlo pasti akan menyadarinya. Katya dan Latya itu dua orang yang berbeda. Sangat berbeda." Nadine bangkit dari sofa lalu meraih tas kerjanya. Ia merapikan blazernya sejenak sebelum kembali berbicara pada Saktya.

"Aku memang belum ketemu sama Katya, tapi kalau dengar cerita dari kamu langsung aku yakin kalo Katya udah melakukan hal yang luar biasa yang bahkan udah kamu sia-siain." Nadine menghela napas sejenak sebelum menepuk pundak Saktya lembut.

"Harusnya kamu sadar, jika seseorang telah mengorbankan waktunya hanya untuk membuatmu bahagia, ketahuilah bahwa dia telah mempertaruhkan seluruh hidupnya untukmu. Rasa suka itu telah berubah menjadi cinta hingga ia rela mengorbankan nyawanya sekalipun untukmu. Aku harap kamu nggak menyakiti Katya lebih dari ini."

Nadine pun berjalan menuju pintu dan keluar dari flatnya, meninggalkan Saktya dengan seribu satu pertanyaan yang menggantung dibenaknya.

Saktya menyeruput tehnya dengan pelan, membiarkan rasa hangat itu mengalir ditenggorokannya. Ia butuh suasana untuk menjernihkan pikirannya.

Apa semua yang ia lakukan ini salah?

Suara bel pintu membuyarkan lamunannya. Ia menaruh cangkir beningnya diatas meja dan berjalan menuju pintu. Ia mengintip dari lubang kecil untuk melihat siapa yang bertamu. Saat mendapati seorang anak kecil berdiri dibalik pintu, Saktya mendengus geli.

"Kakak temenin Raka main PS yuk!" Suara Raka langsung terdengar saat Saktya membuka pintu. Ia berjongkok, menyamakan posisinya dengan tinggi badan Raka.

"Mau main PS dimana? Kakak nggak punya PS disini." Jawabnya pelan.

"Raka punya. Tapi masih didalem kardus. Raka nggak bisa bukanya. Sedangkan Kak Ina lagi beli makanan dibawah." Jawabnya polos. Saktya mengerutkan keningnya bingung. Kakak macam apa yang meninggalkan adiknya didalam flat sendirian?

"Yaudah kakak bantuin ambilin ya? Tapi kakak kunci pintu dulu." Kedua bola mata Raka berbinar dan ia mengangguk dengan cepat. Saktya kembali masuk kedalam flat dan mengambil ponsel serta sebuah notes kecil yang telah usang. Bukan hal yang penting sebenarnya. Hanya saja ia ingin mengenang kembali apa yang telah berlalu.

Flat Zabrina mirip dengan flat Nadine. Jadi, ia tak begitu asing dengan setiap sudut ruangan didalamnya. Yang membedakan hanya penempatan perabotan dan hiasan ruangannya.

Raka berjalan menuju ruang tengah, menunjuk sebuah kardus berukuran besar yang berada ditengah ruangan. Saktya mencari cutter dan menemukannya diatas lemari kecil dekat sebuah pintu bercat hijau tosca. Ia membuka kardus tersebut pelan-pelan.

Bola salju tertangkap lensa matanya saat pertama kali Saktya membuka kardus tersebut. Disusul beberapa pigura yang menggambarkan keluarga kecil mereka. Saktya sempat tersentuh saat membaca tulisan tangan rapi yang ia lihat dibawah salah satu bingkai pigura.

YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang