• Cinta Yang Tak Mungkin •

121 12 18
                                    

Saktya menatap tirai jendela tersebut dalam diam. Ia tahu Katya berdiri di sana. Ujung matanya menangkap bayangan perempuan tersebut saat berdiri di dekat jendela. Saktya menghela napas panjang. Hatinya seperti tercubit saat melihat sikap Katya tadi.

"Lo harus bisa tuntasin masalah lo sama Katya." Saktya menoleh, mendapati Darlo berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan bersedekap.

"Yang dia minta cuma penjelasan, biar semuanya nggak ada salah paham lagi." Saktya turun dari bingkai jendela dan menaruh gitarnya ke dalam case.

"Kita nggak ada masalah, Bang. Gue nolak dia juga kan ada alesannya." Darlo menghela napas pelan seraya berjalan dan duduk di pinggir ranjang Saktya.

"Lo nolak dia dengan cara yang salah."

Saktya mengerutkan dahinya bingung. "Salah dimananya? Kan posisinya emang waktu itu dia lagi sama abang."

"Dengan cara lo nyuruh dia untuk bahagia sama gue sementara dia sayangnya cuma sama lo? Sak, nggak gitu juga." Darlo mengusap wajahnya lelah. Ia menatap Saktya tajam.

"Dua tahun dia nungguin lo. Dua tahun. Apa itu nggak cukup?" Saktya mengulum senyum seraya menatap lantai dengan pandangan menerawang.

"Nggak mungkin. Dia udah bahagia sekarang, kenapa juga masih nungguin gue?" Saktya mendongak, menatap balik Darlo dengan tajam. "Dia punya Karel, Bang. Dia punya orang yang bisa jadi sandaran dia sekarang. Dia udah nggak butuh gue lagi."

Darlo tertawa getir seraya mendengus pelan. Di bukanya laci kecil samping ranjang Saktya. Lalu ia mengeluarkan sebuah notebook bersampul London Payphone dan melemparnya kepada Saktya.

"Baca. Lo buktiin sana kalo dia emang udah nggak nungguin lo." Darlo bangkit berdiri dan keluar dari ruangan tersebut. Dan sebelum ia memegang kenop pintu, Saktya memanggilnya.

"Lo dapet darimana?" Darlo hanya mengangkat bahunya pelan.

"Ketinggalan pas dia nginep di sini." Dan sebelum Saktya sempat bertanya lebih jauh, Darlo menutup pintunya dan meninggalkan Saktya sendirian di kamar tersebut.

Teruntuk, kamu.
Yang tak pernah bisa membaca seluruh perasaanku secara utuh.

Saktya membaca halaman pertama buku tersebut dalam diam. Halaman demi halaman ia baca. Sesekali ia akan mengerutkan keningnya pelan. Lalu tersenyum kecil. Tak jarang hatinya seperti berdenyut nyeri saat membaca kalimat demi kalimat yang tertuang di buku tersebut.

Pada akhir halaman, ia mengusap wajahnya pelan. Bahkan pada kertas itu tertulis sehari sebelum ia datang ke Jakarta. Ia kembali menatap jendela seberang kamarnya dengan tak percaya. Apa benar Katya masih menunggunya sampai sejauh ini?

☆☆☆☆☆

Katya melirik jam tangannya sekilas. Ini masih pukul 3 pagi dan langit masih gelap gulita. Katya mengencangkan tas selempangnya dan berdiri dengan gelisah di gerbang kompleks perumahannya.

Katya menoleh saat mendengar suara deru motor mendekatinya. Ia langsung tersenyum lega. Pengemudi motor tersebut membuka kaca helm miliknya seraya berdecak."Lo emang temen paling gila yang pernah gue kenal. Sinting! Mau kemana sih lo subuh-subuh gini!?"

Katya hanya nyengir seraya menerima helm pemberian dari Gilang dengan cepat. Ia langsung naik ke atas motor Gilang dan menepuk pundak cowok tersebut. "I owe you. Udah jalan aja sekarang jangan banyak omong."

YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang