"Turut berduka cita ya." Itulah ucapan yang keluarga kami terima dari para pelayat.
Rasanya baru saja kemarin aku senang menyambut kedatangan mereka, tetapi sekarang justru kebalikan dari semua itu.
Kemarin, saat aku dan Kak Hito berada di kamar, tiba-tiba ada suara yang mengagetkan kami berdua yang sedang berada di lantai atas. Terlebih saat aku mendengar suara yang berasal dari Mama. Suara Mama yang sedang berteriak. Lantas pada saat itu aku dan Kak Hito segera berlari menuju ke sumber suara.
Aku dan Kak Hito terkejut. Melihat Oma yang sudah mengeluarkan banyak darah dari pelipis nya. Menurut cerita Mama, pada saat itu Oma ingin menemui aku dan Kak Hito yang berada di lantai atas. Namun, ketika berada di tangga ke sembilan Oma seperti melupakan sesuatu dan Oma berbalik untuk turun untuk mengambil kalung untukku. Saat Oma turun, pada lantai ke delapan seperti ada yang mendorongnya dan tiba-tiba saja Oma jatuh dan mengakibatkan peristiwa itu terjadi.
Tanpa berfikir panjang kami segera memanggil ambulance dan tak lama kemudian Oma di tidurkan ke brankar dan di pasangi alat-alat yang tidak ku ketahui namanya. Aku, Mama, Kak Hito ikut masuk ke dalam ambulance, sedangkan Bi Esti Mama tugaskan untuk menjaga rumah.
Pada saat itu, jam itu, detik itu, nafasku seperti ikut terhenti. Oma, seorang wanita tangguh yang begitu aku cintai kini meninggalkan Opa, aku, Kak Hito, Mama, Papa, dan semua orang yang sangat mencintai dirinya untuk selamanya.
Dari hatiku yang paling dalam, sesungguhnya aku sangat ingin menghabiskan waktu dengannya setiap hari. Tapi nyatanya Tuhan berkehendak lain. Tuhan telah memanggilnya terlebih dahulu.
Walaupun pada kenyataannya Oma tidak ada di dunia ini lagi, tapi, Oma akan selalu ada di dalam hati (Namakamu) selamanya. (Namakamu) sayang dan cinta sama Oma. Maaf, (Namakamu) belum bisa memberi yang terbaik selama ini.
Oma, aku kangen Oma. Aku kangen akan kasih sayang Oma.
"Dek, udah dong ya jangan nangis terus?" Rayu Kak Hito. Entah kenapa air mata gue ini rasanya gak bisa berhenti.
Bahu gue semakin berguncang ketika mengingat Oma. Saat Oma memberi gue mainan ketika gue masih berusia 6 tahun, Oma menggendong gue ketika ia berkunjung ke rumah mama, dan masih banyak lagi.
"Ini kalung pemberian dari Oma." Gue mendongkak ke arah Kak Hito dan mengambil kalung pemberian Oma. Gue terus menggenggam kalung itu dengan air mata yang masih mengalir.
Setelah itu, Kak Hito pamit, "Kakak keluar sebentar ya." Pintu gue sekarang terbuka lebar. Gue duduk di pinggiran ranjang kamar gue.
Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pelan bahu gue. Gue males buat nengok, karena gue masih sibuk sama tangisan itu. Padahal udah banyak yang masuk sini dan bilang "(Nam), udah ya jangan nangis lagi." Tapi tetep aja air mata gue gak berhenti-berhenti.
"Hei." Ucap seseorang itu saat duduk di samping kanan gue. Gue melirik sebentar.
"Apa baal?" Balas gue dengan suara serak. Kok bisa ada dia? Tau dari mana nih?
"Aku turut berduka cita ya." Ucapnya.
"Iya, makasih." Suara serak gue lagi-lagi membalasnya.
Kepala gue mendongkak untuk melihat Iqbaal setelah ia berkata, "Itu apa?" Gue melihat Iqbaal menunjuk genggaman tangan gue. Gue membuka genggaman itu.
"Kalung?" Gue hanya mengangguk. Iqbaal mengambil kalung yang tadinya berada dalam genggaman gue. Dia memakaikan kalung pemberian Oma itu ke leher gue. Gue menundukkan kepala gue lagi, gue gak bisa berkata apa-apa. Air mata gue yang menggambarkan perasaan gue saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dhiafakhri
Fanfiction[ BEBERAPA PART DIPRIVATE ] (Namakamu) menghapus Dhiafakhri dari hidupnya. Hingga akhirnya (Namakamu) tahu bahwa Dhiafakhri tak pernah benar-benar meninggalkannya.