Enam bulan yang lalu...
Aku menyusuri koridor rumah sakit bersama Aldi.
Aldi tadi sudah menjemputku di sekolah dan mengantarkanku ke sini untuk check up.
Setelah memeriksaku, Aldi membantuku duduk di atas brankar. "Kondisi kamu sudah lebih baik dari kemarin-kemarin. Kamu jangan banyak pikiran, ya." Aldi mengacak-acak rambutku.
Aku tersenyum tipis lalu mengangguk.
"Ya udah, kamu mau aku antar pulang?" katanya sambil kembali membantuku untuk berdiri. Padahal, aku bisa melakukannya sendiri.
Aku menggeleng. "Gak usah, Di. Lagian, kamu 'kan masih banyak pasien." ucapku berusaha meyakinkannya.
"Aku gak bisa biarin kamu pulang sendiri, (Nam)." ucap Aldi tegas.
Aku menghela napas. Susah memang kalau Aldi sudah seperti ini.
"Aku 'kan bisa naik taxi, Di." Aldi menggeleng dua kali.
"Sekalinya enggak, tetap enggak. Aku gak mau kamu kenapa-napa di jalan." Aku mengerucutkan bibirku.
"Terserah kamu deh."
Untuk orang yang sudah mengenalku tentu tahu, aku orangnya memang terlalu sensitif dan sedikit egois. Aku paling gak bisa diganggu dan kalah berdebat. Dan lebih bahayanya, aku suka menyimpulkan pendapat sendiri tanpa berpikir untuk kedua kalinya apalagi sekadar bertukar pikiran dengan orang lain.
Sampai lupa bilang, kalau aku dan Aldi sekarang lagi di sebuah restoran yang letaknya tidak jauh dari rumah sakit.
Aku dan Aldi memilih tempat duduk di balkon lantai dua restoran. Dari sini, kita bisa lihat mobil melintas ataupun orang-orang yang sedang berjalan-jalan.
"Kamu kok pesannya cuma minum?" Aldi menunjuk segelas lemon tea yang baru saja diantar pelayan restoran.
Aku mendekatkan gelas itu ke arahku dan mengaduk-aduk lemon tea itu. "Aku masih kenyang," kataku jujur.
"Kamu baru makan satu kali, kan?" Aku mengangguk. Darimana dia tahu?
"Aku mau makan masakan Mama aja." Aku tersenyum tipis setelah itu menyedot lemon tea. Aldi mengangguk.
Aku menghirup udara yang alami dari atas sini. Aku masih memikirkan dia. Sudah beberapa bulan ini, aku dan dia sudah tidak saling sapa di kelas. Bahkan, tempat dudukku terganti oleh si kutu buku (aku tidak tahu namanya).
Aku masih memikirkan kenapa dia bisa memutuskan aku, apakah aku memiliki kesalahan yang memang tidak bisa dia maafkan sehingga dia memutuskanku melalui surat?
Sampai-sampai saat aku ingin limbun saat pelajaran olahraga saja dia tidak membantuku sama sekali. Seolah dia memang tidak mengenaliku.
Perubahan sikap itu yang membuat Azira dan yang lain sering menatap sinis ke arahnya. Aku hanya tersenyum tipis ketika dia lewat di depanku. Walau dia tidak membalas senyuman itu. Setidaknya dia bisa mengetahui bahwa senyumanku yang tipis itu adalah senyuman tulus.
***
Senyuman tulus yang sama sekali belum aku berikan untuk Aldi sampai saat ini.
Aku tidak akan menyia-nyiakan Aldi.
Aldi saja bisa berbuat baik padaku, tapi apa balasanku? Aku hanya memberikan senyuman tipis yang bahkan bisa dibilang terpaksa, kikuk, dan tidak tulus.
"Aldi ... 1 4 3," Aku tersenyum tulus ke arah Aldi. Biasanya, Aldi yang memulainya, kan? Sekarang, aku yang memulainya.
Jika dibuat kata-kata yang sedikit berlebihan mungkin Aldi kini terlihat syok dengan ucapanku beberapa detik yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dhiafakhri
Fanfiction[ BEBERAPA PART DIPRIVATE ] (Namakamu) menghapus Dhiafakhri dari hidupnya. Hingga akhirnya (Namakamu) tahu bahwa Dhiafakhri tak pernah benar-benar meninggalkannya.