Mulailah menghargai karya orang lain.
--
"Aku cinta sama kamu." Iqbaal masih terngiang-ngiang dengan ucapan (Namakamu) sebelum (Namakamu) masuk ke ruangan ini. Ruangan yang baru pertama kali ia masuki bersama (Namakamu).
"Kamu bangun, plis. Aku kangen kamu," Iqbaal menggenggam tangan kanan (Namakamu). "Kamu gak kangen sama aku?" Tanyanya pada (Namakamu) yang jelas-jelas masih belum bangun dari mimpi indahnya.
"Kamu bikin aku khawatir. Aku mohon kamu bangun. Dokter bilang kamu cuma kecapekan, tapi aku gak percaya," Iqbaal menatap (Namakamu) yang memakai mask oksigen di sertai alat-alat lain yang menempel pada bagian tubuhnya yang di sambungkan dengan monitor di sampingnya.
"Kalau kamu bangun, kamu mau apa aja aku turutin. Serius. Aku cinta kamu, (Namakamu)." Iqbaal mengecup kening (Namakamu).
BRAK!
Seorang laki-laki berparas tampan dengan kepanikannya memasuki ruangan yang di mana adik kesayangannya berbaring di tempat ini lagi.
"(Namakamu)." Iqbaal berdiri dan menggeserkan posisinya di samping kursi yang ia duduki.
"Lo!" Hito menarik kerah kemeja Iqbaal yang ia kenakan.
"Ada apa, Kak?" Iqbaal bertanya padanya yang masih menarik kerah kemejanya.
"Lo masih nanya adek gue kenapa?" Emosi Hito memuncak.
"Lo itu sebenernya bisa gak sih jaga adek gue?!" Iqbaal menunduk setelah Hito melepaskan kerah kemejanya kasar.
"(Namakamu) sakit apa, Kak?" Iqbaal memberanikan diri menanyai Hito yang masih terlihat sangat marah padanya, bisa saja Hito memukulnya sekarang. Namun, Iqbaal tidak takut akan hal itu.
"Lo gak perlu tahu," Hito duduk di kursi kosong yang tadi Iqbaal duduki. "Gue minta baik-baik sama lo sekarang, lo boleh keluar dari sini dan jangan temuin (Namakamu) sampai dia bener-bener sembuh." Ucap Hito setelah itu menunjuk arah pintu--meminta Iqbaal untuk keluar secepatnya dari ruangan ini.
"Tapi Kak, gue gak bisa. Gue mohon sama lo. Kasih gue kesempatan sekali lagi." Tatapan memohon Iqbaal tidak membuat Hito luluh begitu saja.
"Sekali lagi gue suruh lo keluar tapi lo tetap di sini, gue gak segan-segan buat panggil satpam untuk nyeret lo dari sini sampai luar rumah sakit." Hito merubah air mukanya menjadi datar dan dingin.
"Kak, gue moh--" Iqbaal masih berusaha pada pendiriannya.
"Gue bilang ke.lu.ar!" Tegas Hito dengan sedikit pengejaan serta penekanan pada kata 'keluar'.
Iqbaal tahu ini semua karenanya. Ia berhak mendapatkan ini semua. Dengan berat hati, ia keluar dari ruangan ini. Padahal, ia ingin meminta maaf secepatnya pada (Namakamu) saat (Namakamu) membuka matanya kembali. Tapi, itu mustahil.
"Kakak tahu kamu kuat. Dan kamu harus kuat!" Hito menggenggam erat tangan (Namakamu). Dingin. Itu yang ia rasakan. Hatinya tergores melihat adik satu-satunya berbaring kembali di tempat seperti ini.
**
"Udah dua hari ini (Namakamu) masih belum sadar, Baal." Azira mengklik loudspeaker handphone nya agar Steffi juga bisa mendengar apa yang Iqbaal ucapkan. Steffi dan Azira berada di ruangan (Namakamu), Hito dan mereka saling bergantian untuk menemani (Namakamu) di sini.
'Gue khawatir sama (Namakamu), Zir.' Terdengar sekali suara Iqbaal begitu serak.
"Lo gak perlu khawatir, lo harus yakin, (Namakamu) pasti cepet sadar kok." Azira meyakinkannya. Steffi mengangguk, walaupun Iqbaal tidak bisa melihat anggukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dhiafakhri
Fanfiction[ BEBERAPA PART DIPRIVATE ] (Namakamu) menghapus Dhiafakhri dari hidupnya. Hingga akhirnya (Namakamu) tahu bahwa Dhiafakhri tak pernah benar-benar meninggalkannya.