XXI

6K 573 22
                                    

(Namakamu) mempercepat langkahnya saat sampai di depan gerbang sekolah. Ia yakin, pasti Iqbaal kini sudah terlebih dulu sampai. Ia berlari kecil menaiki anak tangga satu per satu.

(Namakamu) membuka pintu kelas. Jantungnya berdegup lebih cepat seperti semalam ia mendapat pesan yang bertubi-tubi dari Iqbaal.

Demi apapun, ia merasa benar-benar beku di tempatnya sekarang ia berdiri--di depan pintu--. Di dalam kelas, ia hanya melihat Iqbaal. Di mana teman-temannya yang lain?

(Namakamu) berusaha menetralkan jantungnya lalu berjalan menuju tempatnya. Di sampingnya ada Iqbaal. 'Gimana ya gue ngomongnya?' Batin (Namakamu).

(Namakamu) memikir sejenak di tempatnya. Iqbaal yang dari tadi membaca buku sama sekali tidak meliriknya. Saat ia meletakkan tasnya di atas meja, Iqbaal menutup buku biologinya dan beranjak dari tempat duduk.

"Iqbaal!" Seru (Namakamu).

Iqbaal menghiraukan seruan (Namakamu).

'Sok cool banget sih!' Batinnya mengumpat.

(Namakamu) berlari menuju pintu. Menghalangi Iqbaal untuk tidak keluar. Iqbaal terdiam di depan (Namakamu).

Terdengar suara riuh di depan. Pasti itu adalah geng dari anak perempuan di sekolah ini, sebagian mereka di kelas ini.

(Namakamu) merentangkan tangannya. "Kamu mau kemana?" (Namakamu) berdecak pinggang.

Iqbaal mengambil alih tangannya ke arah knop pintu, namun (Namakamu) masih menghalanginya.

"Jawab dulu!"

BRUK!

"Aw!" Pintu terbuka kasar oleh gerombolan anak-anak perempuan yang sedang tertawa lebar. Saat menyadari ada yang terselip di belakang pintu gerombolan itu terdiam lalu melirik ke belakang pintu.

"Sakit, bego!" Teriak (Namakamu) sambil mengusap bahu dan kepalanya yang sedikit terbentur dinding.

Iqbaal yang panik membantu (Namakamu) berdiri. "Sori." Rara, salah satu dari mereka meminta maaf. (Namakamu) membalasnya dengan dehaman. Ia tak peduli mereka mau minta maaf apa tidak. Ia mementingkan Iqbaal terlebih dahulu.

Mulutnya sedikit ternganga. 'Aslinya emang lo sayang, kan sama gue.' (Namakamu) tersenyum.

"Thanks!" Baru ingin mengucapkan terima kasih Iqbaal sudah lebih dulu meninggalkan (Namakamu). (Namakamu) menghentakkan kakinya dan menyusul Iqbaal.

--

"Ih, lo kenapa sih?" (Namakamu) berhasil menarik seragam Iqbaal.

Iqbaal terduduk di kursi taman sekolah. (Namakamu) berdiri di depannya.

"Jawab gue dong!" (Namakamu) menggoyangkan kedua bahu Iqbaal yang sedang duduk diam. Diam seperti es batu yang membeku dan sulit mencair di tengah matahari yang mulai mengeluarkan teriknya.

Iqbaal melepaskan kedua tangan (Namakamu) yang bertumpu di bahunya. (Namakamu) mengatupkan bibirnya rapat-rapat.

Iqbaal melenggang keluar menggeser sedikit (Namakamu) agar tak menghalangi langkahnya. Ia meninggalkan (Namakamu) sendiri di sini. Apakah dirinya memang tidak bisa di maafkan? Padahal, ia ingin menjelaskan kejadian yang sebenarnya kepada Iqbaal. Tapi kenapa Iqbaal sama sekali tak mengeluarkan suara beratnya itu? Ia seperti tidak mengenal (Namakamu).

(Namakamu) melihat Iqbaal dari kejauhan yang sudah hilang di telan tikungan. Penglihatannya cukup buram, seperti ada air yang memaksanya untuk meluncur bebas di pipinya. Ia menghapus air mata yang begitu saja keluar lalu berjalan lemas menuju kelasnya.

***

"Ada apa? Kok dari tadi lo diem aja?" Tanya Azira di samping (Namakamu).

"(Nam).. Lo gak apa-apa, kan?" Tanya Steffi.

(Namakamu) hanya menggeleng. Tatapannya kosong, lurus ke depan.

"Lo pasti ada masa lah 'kan sama Iqbaal?" Ceplos Steffi. Azira menatapnya tajam. "Eh, sori." Steffi menutup mulutnya dengan satu tangannya.

Bahu (Namakamu) mulai bergetar. Air matanya lagi-lagi tergenang di pipinya. Azira dan Steffi panik. "Lo sih. Jadi nangis 'kan." Azira mengusap pundak (Namakamu) supaya sahabatnya ini tenang dan bisa menceritakan masalah apa yang sedang ia alami. Sahabat memang seharusnya seperti itu, bukan? Selalu ada di saat sahabatnya senang, sedih, dan masalah apapun itu. Tidak hanya mendengarkan masalahnya, tapi memberi solusi.

Ada beberapa murid yang memilih makan di kelas dari pada di kantin. Azira dan Steffi memilih untuk tidak ke kantin bukan karena mereka membawa bekal, tetapi karena sahabatnya yang satu ini. (Namakamu) menolak untuk ke kantin. Alhasil, Azira dan Steffi memilih menemani sahabatnya di sini.

"Kalau belum siap cerita ga pa-pa kok." Azira tersenyum ke (Namakamu) yang masih menangis.

(Namakamu) menghapus kasar air matanya saat menyadari Iqbaal mengambil sesuatu di tasnya. "Heh, tanggung jawab lo! Pasti ini gara-gara lo!" Ucap Steffi menunjuk Iqbaal dengan dagunya.

Iqbaal tidak memperdulikan Steffi. (Namakamu) mengangkat kepalanya yang tadi menunduk. Ia melihat Iqbaal yang sudah di depan pintu. Setelahnya ia belok kanan.

Hei, tadi sepertinya (Namakamu) melihat sesuatu yang di bawa Iqbaal. Itu seperti... Bunga. Untuk siapa bunga itu? Dirinya? Tentu bukan. Pikiran negatif makin bertumbuh di otaknya.

Azira dan Steffi memusatkan pandangannya sama dengan (Namakamu). "Playboy, dasar!" Kesal Steffi. "Ssstt!" Azira menatap tajam Steffi. Entah Steffi sudah mendapatkan berapa tatapan tajam dari Azira hari ini.

Suara tangisan (Namakamu) mulai mereda. "Dia.. Mau.. Ngapain?" Ucapnya terbata-bata--sesenggukkan.

"Ikut ekskul teater kali ya?" Azira mengira-ngira. Steffi tidak sependapat dengan Azira. Mana mungkin? "Jangan ngarang bebas deh lo."

(Namakamu) berdiri mengikuti arah Iqbaal keluar. Ia mencarinya di taman. Pasti Iqbaal ada di sana.

"Lo mau kemana (Nam). Tunggu!"

---

Iqbaal menghampiri perempuan berambut keriting gantung dengan satu tangan ia sembunyikan di belakang.

"Hei!" Ia berusaha mengagetkan perempuan itu yang sedang termenung menatap ke arah sepatunya.

Perempuan itu tersentak. "Apa?" Tanyanya. "Maaf, aku lama." Perempuan itu mengangguk. "Gak masalah." Senyum perempuan itu.

"Tadaaaa! Ini buat kamu." Iqbaal memperlihatkan apa yang ia bawa di belakang tangannya. Perempuan itu tersenyum. Iqbaal ikut senang melihat perempuan itu senang.

Bunga mawar merah. Untuk apa?

Apa yang Iqbaal lakukan? Tanpa Iqbaal tahu, ada perempuan yang sedang tercabik hatinya di belakang pohon yang tak jauh darinya. (Namakamu) tahu siapa perempuan itu.

"Salsha kembali." (Namakamu) tak mengerti, ia menggeleng pelan-- tak percaya apa yang ia lihat di depannya. Apakah ia harus merasa senang atau sedih untuk saat ini? Senang karena Salsha kembali dan sedih karena Salsha kini sedang bersama Iqbaal dengan perlakuan Iqbaal yang begitu romantis terhadap Salsha.

___

GUE KEMBALI.

Makin bingung ya pasti sama ceritanya? Kita sama kok:))

Btw gue seneng bgt UN udah selesai, yeyyy!🙈
___

DhiafakhriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang