22. Tidak Mengerti

5.6K 523 1
                                    

HAE. CEK WORK SAYA DEH. ^^

___

Azira dan Steffi berlari mengejar (Namakamu). Mereka berhenti di depan kamar mandi wanita. (Namakamu) masuk dan di ikuti oleh mereka. (Namakamu) menatap dirinya di cermin dengan air mata mengalir di pipinya. Apakah perbuatannya malam itu sangat tidak bisa di maafkan?

Azira dan Steffi saling menatap satu sama lain. Azira dengan matanya yang mengekor ke arah (Namakamu) memerintah Steffi untuk menenangkannya.

(Namakamu) memang perempuan yang baru berpacaran satu kali. Jadi, ia baru pertama kali merasakan ini. Merasakan bagaimana dahsyatnya rasanya jatuh cinta, lalu merasakan bagaimana dahsyatnya sakit karena cinta. Ia tak mengerti bagaimana menyelesaikan semua ini.

Untung saja toilet kali ini sepi. Jadi, hanya mereka bertiga di sini. Steffi melangkah sedikit ke depan menghampiri (Namakamu). "Udah dong, (Nam) nangisnya." Steffi mengusap bahu (Namakamu).

Steffi lalu membalikkan tubuh (Namakamu) agar menghadapnya. "Lo itu cewek cantik. Kalau lo nangis, jadi gak cantik," Steffi menghapus pelan air mata (Namakamu), "dengerin gue," Steffi mengadahkan kepala (Namakamu) untuk menatapnya. "Lo gak perlu nangis kayak gini cuma karena Iqbaal. Cowok itu gak pantes buat lo tangisin. Lo itu cewek kuat, gue tahu itu. Lo tunjukkin dong ke Iqbaal kalau lo itu kuat, gak lemah kayak gini nih." Steffi menunjuk air mata (Namkamu) yang masih tersisa di pipinya.

(Namakamu) mulai menghentikan tangisnya. "Dan kalau lo tersenyum, itu lebih terlihat cantik dan kuat." Timpal Azira dan membuat (Namakamu) dan Steffi menengok ke arahnya. (Namakamu) kemudian tersenyum.

"Makasih sarannya. Kalian emang sahabat gue yang terbaik." Azira menghampiri Steffi dan (Namakamu). Lalu mulai berpelukan. [teletubis kali ah]

***

"Eh, kak. Gue mau cerita deh." Steffi duduk di kursi lipat yang biasanya di duduki oleh pasien ataupun keluarga pasien saat berkonsultasi.

"Tentang apa?" Aldi masih menulis beberapa tugas yang masih menghantuinya.

"Tentang (Namakamu)." Aldi yang semula tak menatap Steffi dan hanya menulis, kini ia menghentikan semua itu. Sepertinya ia tertarik dengan percakapan dengan Steffi kali ini.

"Kenapa (Namakamu)? Dia sakit?" Steffi mengangguk. Aldi terkejut.

"Dia sakit hati." Aldi mengernyitkan alisnya. "Gara-gara Iqbaal?" Steffi mengangguk. "Kok bisa?"

Steffi menjelaskan semua yang terjadi.

"Gila ya, masih punya pacar kenapa malah ngasih bunga ke cewek lain." Aldi menggeleng tak percaya.

Gue harus kasih tau kak Hito.

"Mmm.. Gue kayaknya harus les deh. Gue pergi dulu ya, kak. Kalau mau tau tentang (Namakamu) bisa temui gue di kamar nanti. Okay?" Steffi menaik-turunkan alisnya lalu menggapai knop pintu dan setelah itu ia menyisakan Aldi sendirian di ruangan itu.

"Hallo?" Suara bariton dari seberang sana menyapanya lebih dulu.

"Kak, lo sibuk gak?" Tanya Aldi sambil sesekali mengetuk jemarinya di atas meja kerjanya.

"Enggak, kenapa?"

"Lo bisa ketemu gue? Di kafe biasa?"

"Oke."

TUT.. TUT.. TUT..

Tertanda panggilan telah berakhir, Aldi segera memasukkan telepon genggamnya di saku baju kirinya. Setelah itu ia merapikan beberapa kertas yang tercecer di atas meja kerja krem nya.

DhiafakhriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang