part 11: realize of everything happen

372 4 0
                                    

---

          Wanita cantik bermata abu-abu itu memutarkan kepalanya ke arah lain. Ia menatap dinginnya tembok yang kini berada di hadapannya. “aku mengerti. Seandai nya aku tak seperti ini. mereka pasti tak akan bekerja keras seperti itu. maksud ku, aku dapat meringankan pekerjaan mereka.”

---

Justin’s p.o.v

          Cahaya bulan dihiasi kerlap kerlip bintang menghiasi luar angkasa. Beberapa cahaya lampu yang berdiri tegak di pinggir kolam memantul dan membetuk sebuah bayangan yang sedikit abstrak akibat gelombang kecil di permukaan air kolam.

          “hey, just” suara seorang pria yang sangat ku kenal merambat membelah dinginnya udara malam.

          Pandangan ku teralihkan dari permukaan kolam renang dengan beberapa bayangan yang memantul disana pada austin yang tengah berjalan dan duduk di bangku putih dengan sandaran kaki yang panjang di sebelah ku. “untuk apa kau menghampiriku? Tidakkah kau puas ketika kau membuntuti ku ke makam dad lusa kemarin?”

          “just.” Austin menatapku dengan tatapan lirih yang tersirat di wajah nya.

          Aku memutarkan kepala ku cepat ke arah nya dan menunjuk langit dengan jari telunjukku ketika sebuah gagasan melintas di kepalaku. “oohh... atau kau ingin membalas perbuatanku terhadap wanita jalang itu?”

          Mata nya menyipit. Sorot matanya penuh selidik dan ancaman. “dia. Bukanlah. Seorang. Jalang.” Satu per satu kata ia penggal dengan penuh kesabaran. “just, tidak kah kau berfikir? Bagaimana sikap dad jika ia masih disini bersama kita dan melihat sikap mu yang kelewat batas?”

          “aku berubah seperti ini karena siapa? Karena dad! Kenapa ia meninggalkan ku? Aku masih membutuhkannya untuk menenangkan ku ketika aku mendapat banyak masalah!” gejolak amarah memuncak ketika mendengar tuturan yang austin berikan.

          “just, kematian itu tidak bisa kita hindari. Itu semua sudah menjadi skenario tuhan yang tidak bisa di ganggu gugat. Kau tidak bisa menyalahkannya.” Tetap dengan kesabarannya ia mencoba untuk membuatku mengerti.

          Sebuah seringai mengejek. Itu lah yang tergambar di wajah ku. Panas. Suasana dengan sekali petikan jari berubah menjadi panas. Api yang membara jauh di dalam sana seolah mendorong ku untuk melakukan sesuatu agar ia tidak dapat berbicara lagi. Tapi, disisi lain ada setetes air dingin yang sedikit memadamkan amarah dan mengingatkan jika ia adalah saudara ku. Saudara kembar ku. Aku tak bisa menyakiti nya.

          “just, bisakah kau mendengarkan ku? Aku tau ini semua membuat mu merasa jauh lebih sakit. Tapi aku hanya ingin mengingatkan mu akan suatu hal yang pernah di lontar kan dad kepada kita berdua. Tepatnya ketika kita sedang bertengkar dan kau memukulku ketika aku merusak mainanmu akibat pertengkaran itu.”

          Dad. Dad. Dad.

          Sosok pria tampan nan gagah yang sangat melekat di hatiku terbayang-bayang menghantui fikiranku. Suara nya seolah meneror ku. Kenangan manis bersama nya seolah menjadi obat pahit yang sulit untuk ku telan.

          Sebagian hati ku menolak untuk tetap berada disini dan mendengar semua perkataan pahit austin untukku, yang dapat menyayat hati ku membuat luka lama itu terbuka kembali. Kaki ku tergerak dan hendak melangkah menuju kamar ku.

          Tidak! Just, dengar kan saja. Biarkan dia berbicara apa yang ia inginkan. Tetap pada posisi mu.

Hati kecilku berteriak memohon agar aku tetap pada posisi itu dan tidak pergi kemana-mana. Haruskah aku menuruti nya? Urrgghhh.... baiklah. Aku menarik kembali sebagian kaki ku yang telah menginjak aspal berwarna abu-abu itu untuk naik ke atas permukaan penopang kaki di bangku panjang ini.

Aussi Longtemps Que Tu M'amies (as long as you love me)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang