Part 33: Apa aku melewatkan banyak hal?

163 5 0
                                    

---

“maafkan aku, Aust.”

---

Author’s p.o.v

Fryssy menundukkan kepalanya. Menyesal. Mungkin itu yang di rasakan wanita cantik yang tengah menampung gejolak yang sulit untuk di kendalikannya. Ia tidak tahu akan apa yang harus di lakukannya. Ia takut mengeluarkan perkataan yang salah lagi. Di satu sisi, ia memang masih memikirkan nasib sahabatnya, Alli. Tapi, apa itu arti cinta yang sebenarnya? Merelakannya jika memang sudah dalam kondisi yang sulit? Seperti yang di alaminya saat ini? Ia menutup kedua kelopak matanya. Ia tidak ingin terburu-buru. Ia masih menimbang perasaanya pada Austin dan perasaannya—perasaan tidak enak— pada Alli. Apa yang di katakan jika ia mencintai pria yang kini tengah menanti ucapan selanjutnya yang keluar dari mulut Fryssy, benar adanya.

“Frys.” Austin bangkit dari duduknya. Ia telah memikirkan satu cara agar sang wanita di hadapannya mau angkat bicara kembali. Dan, ini lah yang seharusnya ia lakukan sejak awal. Yang seharusnya ia lakukan sebelum masalah menjadi rumit seperti ini. Pemikiran ini telah di landaskan pertimbangan cukup lama di otaknya. Ia juga tidak ingin tambah mengacaukan segalanya. Kini pria itu berlutut di hadapan Fryssy dengan tangan yang terselip di kantung celana panjang berwarna hitam yang ia kenakan. Sebuah kotak kaca tembus pandang ia buka dan menunjukan pemandangan lain di dalamnya. Sebuah cincin indah berwarna silver. Ia telah merencanakannya sejak ia berencana untuk terbang ke NY hanya untuk menemui wanita berambut coklat kelam ini. “Maukah kau menjadi kekasihku? Menjadi penjelas perasaanku yang sesungguhnya?”

Fryssy mematung di tempat. Tentu saja, ia tidak dapat berucap apapun. Ia seperti sedang terkena serangan jantung yang telah di tunggunya sejak lama. Inilah yang ia inginkan sejak awal sebelum semuanya rumit dan sulit di benarkan. Tapi yang ada di otak Fryssy, sebenarnya tidak ada lagi yang perlu di benarkan. Tidak ada lagi yang perlu di luruskan. Semuanya akan memnjadi baik jika ia menjadi kekasih Austin. Hidup bahagia dengan Austin? Kenapa tidak? Tapi, apakah pemikiran itu termasuk, egois? Ia tahu persis bagaimana seluk beluk sahabatnya—Alli—. Apa yang disimpulkan Austin jika ia adalah wanita yang suka mengumpat perasaannya sendiri demi kebahagiaan orang itu memang benar adanya. Apakah itu berarti Fryssy akan menerimanya?

Fryssy terdiam untuk sejenak dan tersenyum kemudian. Kepalanya mengangguk semangat seolah ada suatu hal yang tengah mengejarnya. Jemari Austin mencoba untuk mengangkat cincin itu dari tempatnya dan memakaikannya di jemari lentik Fryssy. Wanita itu menggigit bibir bawahnya menahan haru. Ia merasa jika cintanya bersemi kembali. Ia merasa sosok Niall telah kembali. Fryssy bangkit lalu memeluk pria tampan yang telah resmi menjadi kekasihnya itu. Pelukannya erat seakan ia tidak ingin membiarkan Austin pergi untuk ke dua kalinya menjauh dan membuat hatinya kacau balau kembali. Austin pun membalasnya lalu menangkup pipi Fryssy dengan kedua tangannya. Sorot mata kuning keemasan yang ia tanamkan di mata Fryssy begitu hangat. Rasa hangat itupun mengalir di dahi Fryssy ketika dahi mereka mulai bersentuhan. Sentuhan Austin, suara Austin, tatapan Austin, ia tidak ingin kehilangan segalanya. Ia ingin tetap bisa menikmatinya tanpa ada orang lain yang mengganggu mereka. Deruan nafas yang membawa aroma nya mulai menelusuri indra penciuman Fryssy. Seiring waktu berjalan, jarak antara wajah mereka semakin menipis hingga benar-benar tak tersisa. Kelembutan yang di berikan pria itu membuat Fryss menutup matanya dan mengikuti semua permainannya. Kali ini bukan Niall yang dia anggap telah menciumnya. Tapi ia benar-benar memikirkan sosok Austin. Ternyata ia telah menyadari jika kedua pria itu sungguh berbeda. Austin melakukannya benar-benar secara perlahan. Ia takut membuat segoret luka kecil pada Fryssy.

Dari balik kaca tembus pandang, seorang pria dengan mata kuning keemasannya yang tajam melemparkan tatapan membunuh kepada dua sosok yang menghiasi penglihatannya. Tentu saja ini bukan pemandangan indah. Melihat wanita yang mulai di cintainya? Dengan pria yang tak lain adalah saudara kembarnya sendiri? Apa itu berlebihan? Ia rasa tidak. Semua orang berhak merasakan apapun yang telah di alaminya. Tatapannya serupa dengan tombak tajam yang siap memecahkan kaca di hadapannya lalu membunuh dua sosok yang menyakitkan perasaannya. Ia tidak bisa tinggal diam. Ia tahu apa yang harus ia lakukan agar memisah kedua manusia yang benar-benar membuatnya muak hari ini. Salah satu dari mereka harus meregang nyawa. Salah satu dari mereka harus mati di tangannya!

Aussi Longtemps Que Tu M'amies (as long as you love me)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang