---
“siapa pria itu?”
“Austin Mahone Bieber.”
---
***
Author’s p.o.v
Lampu lalu lintas di sebrang jalan tampak memunculkan warna merah saat ini. Deretan kendaraan berjejer kebelakang dengan sangat tertib. Secangkir teh hangat, sekiranya tepat untuk menemani kesendirian Justin pagi ini. Ia menunggu kehadiran seseorang yang dengan seenaknya memerintah dan langsung memutus sambungan telefon setelahnya.
Kelima jarinya mengetuk-ngetuk meja secara bergantian. Sedangkan yang lainnya, dengan rapih terlipat di atas meja membiarkan sensasi hangat yang berasal dari cangkir teh menjalari tubuhnya. Mata berwarna kuning keemasan itu menyapu setiap sudut maupun keluar jalan. Tak ada. Tak ada yang ia temukan selain kendaraan yang melintas dan beberapa orang asing yang sedang bercengkrama maupun berjalan di luar sana.
Matanya teralih secara tiba-tiba ketika tangannya merasakan cangkir yang ia sentuh bergeser dan terlepas begitu saja. Robert lah yang melakukannya. Ia menarik lantas meminumnya tanpa meminta izin terlebih dahulu. Seolah apa yang di miliki Justin, itu berarti juga miliknya.
“kemana saja kau semalam?” Robert kembali menyesap cairan coklat kehitaman itu dan menikmati sensasi hangat yang mengalir di tenggorokannya.
“hanya berjalan-jalan. Mencari sensai lain.” Bohong. Itu hanyalah bualan belaka. Jelas-jelas semalam ia kembali pulang ke rumahnya dan melakukan seperti apa yang Fryssy perintah padanya. Ia tidak ingin Robert mengetahuinya. Karena ini belum genap sebulan, dan itu berarti seharusnya ia belum di perbolehkan pulang ke rumah secara harfiah.
“Baiklah aku tidak peduli.” Robert meletakkan cangkir itu kembali di atas meja. Seolah benda itu sangat rapuh dan mudah pecah. “Sekarang saatnya aku memberimu tugas serius. Kau harus menghabisi nyawa seseorang.”
“kenapa secepat itu?” Justin mendengus pelan. Berusaha agar tidak dapat terdengar oleh orang yang ada di hadapannya. Robert.
“Aku tidak peduli seberapa cepat atau lambat. Aku hanya ingin kau melaksanakan perintahku. Karena wanita ini— atau lebih tepat keluarga ini, harus segera di musnahkan.”
“Oh man. Jangan bercanda. Kau menyuruhku untuk membunuh seorang wanita? You were joking, right?” Justin menyeringai. Kembali menarik dan menghisap cairan manis itu di tengah-tengah seringainya. Ada sesuatu yang menggelitik perutnya ketika mendengarnya. Rasanya ia ingin terpingkal dan terus tertawa. Namun, ia tidak melakukannya dan memilih untuk terlihat tenang dan menawan.
“i’m not joking.” Robert menggebrak meja, namun tidak menghasilkan suara yang luar biasa hebatnya. Meja itu hanya bergetar seolah tertular kegeraman yang ada di diri Robert. “Kurasa ini akan mudah dan sangat lancar terutama jika kau yang melaksanakannya.”
“Baiklah siapa siapa wanita itu?”
“Ia adalah wanita yang bersamamu di taman kemarin sore. Clurgh family.”
Kali ini seringai itu dengan cepat berganti dengan sebuah kerutan yang terdapat di dahinya. Ia memberikan sorot mata yang sangat mengintimidasi. Tangannya seolah ingin menggenggam cangkir putih di tangannya lebih kencang. Jika perlu ia ingin meledakkannya. Namun ia lebih memilih untuk meletakkannya di atas meja sebelum sebuah kekacauan terjadi. Kepalanya teralih ke sebrang jalan. Menatap lampu jalan yang terus berganti warna pada waktunya. Tapi bukan itu yang menempati fikirannya. Seorang wanita cantik berambut coklat kelam dengan senyum manisnya lah yang menghantuinya saat ini.
Apa harus? Apa harus ia melakukannya? Di saat ia tengah dekat dengan wanita itu, lalu apa harus ia membunuhnya? Lagi pula, apa yang membuat Robert sangat ingin membunuhnya? Justin fikir wanita itu cukup menyenangkan, walau sesekali ia menyebalkan. Namun kesalahan yang wanita itu perbuat sehingga membuat jengkel, ia rasa bukanlah tindakan kriminal. Itu hanyalah kebodohan semata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aussi Longtemps Que Tu M'amies (as long as you love me)
Fanfiction"apa orang tersebut sempat mencoba untuk membunuhmu?" "ya, ia mendatangiku ketika aku berjalan di sebuah jalan sempit dengan sebuah kotak kue yang akan ku antar menuju rumah pemesannya. Ia mendekatiku dan menampar ku dengan sangat keras hingga aku t...