Aku dan Cintaku

18 1 0
                                    



Sore ini aku kuliah diantar kekasihku, meski aku sempat ingin jalan sendiri karena tidak tega kalau dia harus bolak-balik Surabaya-Sidoarjo, padahal seharian dia bekerja. Kekasihku tidak yakin aku mampu ke kampus sendiri, karena semalam aku masih mengeluh sakit. Dia tidak tahu kalau hari ini aku sudah kembali beraktivitas seperti biasa meski belum pulih benar.

Kalau pas begini kadang aku juga menyalahkan diriku, kok kadang aku angkuh banget padanya seolah aku gak butuh siapa-siapa, tapi kalau sakit baru tau deh betapa kita membutuhkan seseorang yang tulus menjaga dan merawat kita ya.. xixixixixi. Kuharap dia tak membaca tulisanku biar gak Ge-eR.

Tapi emang bener kok, toh tujuan kita menjalin relationship secara konsisten tujuannya adalah agar kita bisa mengatur dan mengukur seberapa butuhkah kita akan pendamping, kalau ternyata ketika kita memiliki kekasih tapi hati masih kesana-kemari, berarti kita belum yakin dengan cinta kita.

Mengikat sebuah hubungan dalam jalinan pernikahanpun juga butuh komitmen, artinya kita akan berjanji pada hati kita untuk hanya mencintai, setia dan siap melayaninya, kalau bisa sampai akhir hayat kita. Tak perlu kita membayangkan kemesraan ketika masih muda dan ukuran kekuatan bercinta, itu sih biasa dan normal, kan masih muda, otomatis hormon adrenalinnya masih tinggi.

Tapi kita bayangkan ketika kita sudah tua, sakit-sakitan dan raga tak lagi seindah di masa muda. Alangkah bahagianya bila kita masih setia dengan pendamping yang sama, meski tiap hari sibuk berantem menyamakan visi dan misi, setidaknya pasangan ini bisa menikmati kebahagiaan berkeluarga dalam suka maupun duka.

Apalagi yang dicari dalam kehidupan kita, saat kita melewati masa anak-anak menuju masa remaja, kita memasuki tahap pacaran (belajar untuk menjalin hubungan secara konsisten), kemudian memasuki masa dewasa kita mulai berkomitmen dengan menikah, bereproduksi (punya anak). Kemudian memasuki masa tua, terakhir mati.

Kalaulah kita mencari nafkah, berkarya dan mendidik anak, itu adalah bagian dari proses. Tentu saja kita harus mengikuti norma sosial, kalau ingin makan atau memiliki sesuatu hal atau materi ya harus bekerja, untuk mendapatkan pekerjaan yang baik sesuai dengan minat dan bakat ya harus sekolah dulu, dst. Banyak hal yang bisa dilakukan manusia untuk menjadi lebih baik dari masa ke masa.

Tak perlu menoleh kepada sejarah dan seolah ingin kembali ke masa lalu. Mereka semua yang berada di balik masa lalu kita adalah orang-orang yang selalu mengajak kita pada kebaikan dan kemajuan, bukan kemunduran zaman. Pointnya, tujuan dari hidup kita adalah mendapatkan kebahagiaan bersama orang-orang terkasih dalam hidup kita. Bila kebahagiaan tidak kita dapatkan maka imbasnya adalah muncul sikap atau perilaku destruktif atau merusak, agresif dan anarki.

Ketidak puasan terhadap orang tua, rumah tangga dan karir seringkali manusia mencari pelampiasan kepada hal lain untuk menjadi kambing hitam atas kegagalan hidupnya. Haruskah kita demikian?

Aku menyimak begitu banyak berita tentang unjuk rasa, meskipun pelaku unjuk rasa itu tak sepenuhnya korban ketidak adilan, tapi kebanyakan dari mereka menjadi demonstran bayaran. Jangan tanya bagaimana perilaku mereka saat berorasi. Berteriak, memukul-mukul sampai melakukan pengrusakan, itu semua atas keinginan dari si pembawa skenario. Selesai mereka dibayar. Lantas bagaimana dengan kerusakan yang telah dibuat? Siapa yang bertanggung jawab untuk mengganti, padahal terkadang benda yang dirusak itu milik rakyat juga.

Lagi-lagi masalah ketidak puasan (unsatisfaction). Semua cuma mengangkat tangan, tidak tahu menahu dan akhirnya pemerintah pula yang menjadi kambing hitam atas peristiwa itu. Dianggap tidak adil, dsb. Perbuatan dengan menunjukkan otot dengan berdalih akal juga seringkali ditunjukkan, meski pelakunya jelas-jelas kalangan elit dan intelektual, lagi-lagi pemerintah disalahkan. Bencana alam yang terjadi, pemerintah terlambat turun tangan salah juga. he.he.. Nasib pemerintah benar-benar di tangan rakyat.

Padahal untuk menduduki jabatan pemerintahan bukanlah hal yang mudah, mesti nunjukin ijasah yang menyatakan dirinya dari kalangan kaum pintar. Mesti dari parpol bagi legislatif dan semua administrasi dan referensi yang memadai untuk bisa diukur kemampuan dirinya memiliki hak dalam pemerintahan dan perpolitikan (wah aku kok jadi sok politik ya.. hohohoho)

Intinya kenapa kita menjadi manusia-manusia yang serba tidak pernah puas? Cobalah kita introspeksi, hal apakah yang membuat kita mudah sekali emosi, seolah tak ada lagi jalan pemecahan secara damai tanpa gontok-gontokan atau unjuk rasa yang kadang menyebalkan bagi pengguna jalan raya?

Cobalah kita lihat dalam diri kita, apakah yang membuat kita mudah marah? Tetangga tidak senyum katanya iri, orang tua memberi nasehat katanya cerewet, kekasih gak telpon (absen) katanya sudah ada yang lain. Istri atau suami tidak mau melayani katanya sudah bosan, anak tidak pandai seperti teman-temannya yang lain katanya abnormal (cacat). Pimpinan melakukan mutasi ke tempat yang kering (gak bisa ngobyek) katanya sudah dihasut oleh temannya yang tidak suka/iri pada dirinya. Semua ini hanyalah prasangka, belum terbukti kebenarannya.

Cobalah sahabat merasakan dalam keseharian, pernahkah sahabat kekurangan makan, tidak punya baju, hidup dari satu rumah ke rumah yang lain (ngontrak atau sewa). Kalau salah satu dari kriteria itu benar adanya, cobalah mencari solusi sendiri untuk memenuhi kebutuhan pokokmu.

Kalau setiap hari masih bisa makan (ada yang dimakan), masih bisa tidur nyenyak, masih bisa ngopi dengan teman-teman, ya bersyukurlah. Asalkan negeri ini damai, tidak ada kerusuhan, bencana alam dan teror apapun, rejeki bisa dicari. Toh lagi-lagi kita hidup untuk siapa, pasti untuk orang-orang terkasih dalam kehidupan kita (meski untuk yang remaja lumayanlah bisa beli pulsa buat smsan sama pacar).

Tak ada kehidupan yang keras, tak ada kehidupan yang menakutkan, asalkan kita mensyukuri segala nikmat yang ada dihadapan kita maka tak akan ada yang namanya unjuk rasa. Teruslah berusaha dengan jalan yang baik, pikirkan jalan yang terbaik tanpa harus merugikan diri sendiri maupun orang lain. Mencari kepuasan tak harus dengan mengkambing hitamkan penguasa, tawakkallah. Allah senantiasa akan membimbing dan melindungi kita yang mau berusaha dan bersabar.

Bersabar dalam mengasihi kekasih, orang tua maupun anak juga kepada lingkungan dan sesama kita. Menciptakan rasa damai perlu dengan kerendahan hati. Belajarlah untuk mendidik mental kita menjadi mental yang kuat dalam menjalani proses kehidupan ini. Hilangkan rasa iri, dengki, sombong dan angkuh, keserakahan dan ketamakan.

Kelak hanyalah doa dari orang-orang terdekat dalam kehidupan kita yang akan menolong kita di alam kematian. Bukan lagi harta yang kita timbun, bukan lagi orang-orang suruhan, dan bukan lagi tahta atau apapun yang kita miliki, semua akan berakhir begitu saja.

Sahabatku, nikmatilah hari-harimu dengan mencari dan mendapatkan kebahagiaanmu. Kalau kemampuan orang bercinta hanya 20 tahun saja karena setelah itu merupakan perjuangan hidup (kalau gak berjuang gak bisa hidup), maka menikahlah dan hiduplah dengan kedamaian dan rasa syukur (jangan lupa undangin aku ya.. he.he).

Maha Suci Allah yang menyukai hamba-hambanya yang senantiasa tawakkal dan menjalin kasih dengan tulus kepada sesama.

Salam damai buat orang-orang terkasih di hatimu.. Gud Night...

Petunjuk Kebenaran Tuhan Tahun 2010 (September-Oktober) Jilid 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang