Aku Dalam Kegiatan Psikologiku

12 1 0
                                    



Menjadi ikhlas bukanlah hal mudah, ikhlas dalam arti kita bisa menerima takdir yang sudah dikehendakkan Allah pada kita. Aku yang sebenarnya sudah banyak belajar tentang makna ikhlas saja terkadang dalam prakteknya susah banget untuk diterapkan. Ngomong ikhlas pada hati tapi mulut masih ngomel-ngomel aja (dah bawaan orok kali ya!!?? xixixixi). Yah namanya juga manusia, tempatnya salah, sekalinya dihapus, seribu kali dosanya dibuat, la kapan sucinya..??..xixixixi.

Sore ini aku juga ingin berbagi kisah denganmu sahabatku, sebuah kejadian pernah terjadi dalam kehidupanku, ketika aku masih menjadi diri aku yang lain (manusia seutuhnya). Aku lebih senang menjalani hari-hariku dengan aktivitas yang sama (monoton), hingga aku mulai jenuh dan ingin mengganti suasana. Setidaknya aku ingin memiliki aktivitas yang lebih banyak menggunakan fisik dan pikiran.

Tapi dari sekian banyak pilihan (termasuk pengen dugem lo), kok aku malah memilih memasuki dunia-dunia yang bergelut pada sosial. Kadang aku sendiri juga tak percaya mengapa aku melakukannya, masuklah aku di berbagai LSM sosial yang katanya peduli dengan rakyat. Melakukan pendampingan, sosialisasi/penyuluhan tentu saja aku menyampaikannya dari sudut pandang psikologis.

Meskipun aku gak dibayar, malah aku mendanai sendiri sosialisasi yang aku lakukan untuk LSM itu, tujuanku semata hanya untuk belajar, bagaimana menerapkan pemikiran-pemikiran positif kepada masyarakat secara psikologis, karena kendala yang terjadi di masyarakat kita saat ini adalah banyaknya masyarakat yang menerjemahkan budaya sebagai sesuatu yang harus dipatuhi, akibatnya generasi barupun tak mampu berkembang dengan baik.

Ada kebiasaan di masyarakat kita adalah, bagaimana orang tua seringkali memperlakukan anak sebagai orang yang harus menjadi seperti orang tuanya, segala urusan si anak langsung dan selalu dihandle orang tua. Anak dilarang melakukan ini itu, kata-kata "Jangan" dan "Tidak boleh", menjadi kata-kata manjur untuk mencegah anak berekspresi.

Padahal banyak sekali gangguan-gangguan mental pada anak justru muncul ketika mereka telah dewasa. Terbiasa semua diatur keluarga (ibu atau bapak), sehingga ketika mereka sudah mulai harus menuju tahapan belajar mandiri dan bertanggung jawab, anak ini bingung. Mau minta bantuan orang tua malu karena sudah dewasa, mencoba untuk hidup sendiri termasuk menanggung resikonya juga takut. Jadinya tak jarang masyarakat kita mengalami gangguan kecemasan yang akut, depresi atau stress, tindakan-tindakan orang-orang yang mengalami depresi ini sering kali disebut "Gila "oleh khalayak.

Padahal dia cuma berusaha mencari perhatian agar orang mengerti keinginannya, tapi berhubung dianggap gila, dibawanya orang ini ke rumah sakit jiwa, maunya gak gila jadi gila beneran, karena dirinya sudah merasa dianggap keluarga dan lingkungannya sebagai "orang gila".

Sahabatku, setidaknya seringkali kita lupa bahwa kita pernah menjadi anak-anak, kalau kita ingat ketika kita dilarang main di jalanan, mandi di kali, main di sawah, atau kita menaiki pohon, atau menyentuh barang-barang di rumah yang takut kalau kita rusakkan, orang tua kita pasti mengatakan "Jangan!!" atau " Tidak boleh".

Padahal kata-kata itu malah mensugesti anak untuk melakukan apa yang dilarang, karena anak-anak penasaran, kenapa jangan dan kenapa tidak boleh. Dan anak-anak menjadi resisten terhadap larangan, lantas apa yang terjadi ketika anak tak lagi patuh dengan orang tuanya, yang terjadi justru kekerasan fisik dan mental. Mungkin orang tua ingin mendidik dengan tegas tapi malah kebablasan.

Tidak hanya fisik yang terluka tapi mentalpun jadi down. Tertanam pada pikiran anak mending diam dan tak bertingkah apalagi berpendapat dari pada dimarahi. Anak-anak menjadi sosok yang tidak percaya diri, tidak mandiri, dan menurut saja, asalkan dirinya sudah dicukupi kebutuhannya. Sekolah dipilihkan, jodoh dipilihkan, semua dipilihkan, ketika harus bertanggung jawab, ternyata gak tahu mesti ngapain karena gak bisa mengambil keputusan sendiri.

Banyak kasus klienku yang mengalami gangguan jiwa seperti ini, aku ambil contoh, seorang anak yang masih remaja dan tinggal di desa, dia ternyata sudah dibawa ke rumah sakit jiwa dan diberi obat untuk menenangkan dirinya yang tiba-tiba saja selama sebulan terakhir sering bertingkah aneh (berteriak-teriak, memukul-mukul dan banyak barang yang dibuang). Keluarganya menganggap anak itu gila, ntah apa yang membuat mereka memanggilku.

Ketika aku temui di desa itu, ternyata aku tidak melihat bahwa anak ini gila seperti yang dikatakan keluarganya. Ternyata anak ini hanya mengalami kesulitan penyesuaian diri ketika mendengar kabar yang tidak menyenangkan (dia dikabarkan tidak lulus sekolah SLTAnya). Mungkin karena malu dan marah pada dirinya sendiri, akhirnya dirinya melampiaskan rasa kecewanya dengan bertingkah aneh.

Setelah ditelusuri dari latar belakang cara mendidik keluarganya yang keliru. Ibunya yang sangat menyayangi anak ini, seringkali memperlakukan anak ini seperti anak kecil, masih disiapkan sarapan, masih disuapin, pakaiannya dicucikan dan semua kebutuhannya dikerjakan oleh ibunya. Hasilnya anak menjadi merasa dirinya dikebiri, keinginannya untuk bekerja ditolak ibunya, belum lagi mendapat kabar katanya dirinya tidak lulus. Sekarang ditambah lagi keluarganya menyangka dirinya gila karena keluarganya membawanya ke rumah sakit jiwa meskipun cuma konsultasi dan diberi obat.

Terapi keluargapun aku lakukan karena kondisi anak tidak bisa diajak bicara akibat pengaruh obat. Aku meminta kepada bapak dan ibunya agar mengajari anak untuk mandiri dan mengurus dirinya sendiri, termasuk mengambil keputusan sendiri, karena anak itu sudah dewasa. Tak mungkin ibu ini akan terus memperlakukan anaknya seperti bayi, karena anak ini harus belajar mencari nafkah untuk kelangsungan hidupnya, pacaran dan menikah untuk mendapatkan keturunan, dan yang utama aku meminta mereka berhenti menganggap anak itu gila, selain aku juga meminta mereka untuk menghentikan meminum obatnya, karena side efek dari obat itu yang mengakibatkan otaknya tidak berfungsi maksimal.

Esok sorenya salah satu dari keluarga anak ini menelponku bahwa anak ini sudah sembuh dan ceria kembali, setelah konsumsi obat dihentikan paginya anak ini diajak pamannya untuk ke sekolah melihat sendiri hasil pengumumannya dan ternyata lulus dan anak ini dicarikan pekerjaan. Seluruh keluarganya sangat mendukung hingga kesembuhan anak ini bisa tercapai maksimal.

Sahabatku, dari pengalamanku di atas, setidaknya belajarlah untuk menjadi orang yang bijak dalam memperlakukan orang lain terutama kepada anak-anak. Berikanlah keleluasaan bagi anak-anak untuk mengekspresikan dirinya. Sumber daya manusia yang baik adalah mereka yang tak pernah terikat pada hal-hal tak perlu, seimbangkan antara pendidikan ilmu pengetahuan dan akhlak.

Ajarkan anak untuk selalu berpikir positif dan maju. Jelaskan alasannya bila anda tak berkenan, sedetil-detilnya dan sejelas-jelasnya sesuai dengan fakta dan kenyataan. Pendidikan akhlakpun mesti dibarengi dengan contoh, bila anda terbiasa mengeluarkan kata-kata kasar (misuh katanya orang jawa) maka mulai saat ini gantilah kata-kata itu dengan kata -kata kasih.

Mari kita cipatakan generasi muda yang baik dan kuat mental serta fisiknya. Hindari doktrin yang tidak perlu, kalau nantinya akan membuat anak menjadi trauma untuk mencoba meniti kehidupannya.

Maha Suci Allah, yang akan selalu memberikan yang terbaik bagi kita yang mau berubah dan berusaha.

Petunjuk Kebenaran Tuhan Tahun 2010 (September-Oktober) Jilid 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang