Aku Dan Pengalaman Hidupku

13 1 0
                                    



Kembali ke dunia tulis menulis, nulis laporan, nulis tugas, nulis koment sampai nulis diary. Semua serba menulis eh mengetik maksudnya...Malam ini, aku ingin tidur lebih cepat dari kemarin. Biar aku bisa bangun lebih pagi dan menyelesaikan tugas-tugasku yang masih menunggu antrian untuk diselesaikan. Sore tadi kekasihku menemuiku, dia ingin tahu keadaanku, kalau cuma via telpon gak puas kalo belum liat sendiri. Dia selalu ingin memastikan aku baik-baik saja.

Tentu saja aku masih baik-baik saja, la wong aku gak kemana-mana sampai depan rumahku banjir aja aku gak tahu, rupanya kodok yang menyerbu rumahku semalam karena pelataran banjir, ya ampun.. segitunya aku sampai gak tahu. Mungkin aku tergolong paling betah bertahan di rumah ya...

Kali ini aku ingin berkisah tentang bencana alam, hujan yang tak menentu jadwalnya, kemudian musim yang berubah-ubah tak menentu (dari musim durian jadi musim nangka, gak ada durinya dech.. xixixixi)

Bencana alam terjadi karena berbagai faktor, karena perubahan iklim, karena pergeseran lapisan bumi paling bawah, sampai pada bencana yang disebabkan human error. Kalau karena iklim, yang pasti sering terjadi bencana angin, entah angin topan, badai dan sebagainya (ih sok tau deh gue.. he.he), kalau karena pergeseran lapisan bawah bumi biasanya gempa bumi, disusul tsunami atau gunung merapi meletus. Kalau untuk bencana human error biasanya banjir bandang atau yang disebabkan karena penggundulan hutan hingga ketika hujan gunung jadi tak mampu menampung air hujan dan longsor, longsor yang disertai air, jadinya bernama banjir bandang.

Yang pasti semua bencana ini pasti dapat ditelusuri sebab dan akibatnya. Saat ini terjadinya ketidak seimbangan alam, akibat penggundulan hutan dan pencemaran air, tanah dan udara, membuat musim juga berubah-ubah tak menentu. Seharusnya musim panas yang terik, merupakan kesempatan bagi petani tembakau dan tebu berproduksi. Kalau musim hujan petani padi yang menanam.

Sewaktu aku mudik ke Situbondo, kota kelahiranku, di sepanjang jalan pantura aku banyak menemui petani tembakau menjemur daun tembakau yang sudah dirajang di pinggir jalan raya, masih sangat hijau rupanya, ntah mereka apakan tembakau itu karena yang seharusnya musim panas ternyata sudah sering hujan.

Tak bisa kubayangkan berapa kerugian yang ditanggung petani ketika panen gagal, belum membayar ongkos tanam, pupuk, perawatan hingga ongkos panennya, belum lagi mesti dijual cepat kepada tengkulak agar tidak berkecambah atau busuk. Masih dibebani lagi membagi hasil dengan yang punya sawah. Tidak ada solusi untuk hal ini.

Siapa yang bisa menyalahkan alam, mau berganti profesi juga sulit karena mungkin mereka sudah terbiasa dengan dunia tani. Mau kerja di luar negeri menjadi TKI juga terlalu banyak prosedur dan biayanya mahal. Belum lagi kalau ternyata penyelenggara penyedia tenaga TKI malah ilegal, merekapun pulang dengan tangan hampa.

Aku pernah memiliki pengalaman menjadi petani, kebetulan pemilik sawahnya adalah mantan suamiku, beberapa orang menggarap sawahnya dengan sistem bagi hasil. Ketika panen, biasanya si penggarap sawah datang ke rumah untuk membagi hasilnya, tapi aku kadang tak tahu banyak berapakah hasil panen itu dalam sekali panen. Si penggarap biasanya menyerahkan seluruh hasil dan menunjukkan padaku kemudian dibaginya uang itu olehku menjadi dua. Separuh untukku dan separuh untuk si penggarap.

Tapi terkadang aku tak tega melihat hasil yang didapat, karena ternyata panen gagal. Tak jarang aku memberikan seluruh hasil panen itu kepada penggarap untuk membayar biaya operasional. Tak bisa kubayangkan mereka harus menunggu beberapa bulan lagi untuk panen lagi, apa yang bisa diberikan bapak-bapak tua yang renta ini kepada keluarganya, bagaimana mereka mampu bertahan tanpa uang sepeserpun.

Sahabat, perbuatanku dengan memberikan seluruh hasil panen kepada penggarap sawah ternyata mengundang protes di kalangan petani. Tak seharusnya aku bersikap demikian, menurut mereka hal ini bisa membuat iri penggarap sawah lainnya. Oh Tuhan, aku benar-benar gak tahu. Seandainya saja aku tak cepat iba, seandainya saja aku juga membutuhkan pasti uang bagianku itu aku ambil, tapi aku terlalu gak tegaan yang akhirnya aku justru membuat orang lain marah. Baik menurutku ternyata tidak baik menurut orang lain.

Tak hilang akal, ketika panen tiba, si penggarap memberikan uangnya meskipun sangat sedikit, tetap aku ambil. Begitu orangnya pulang aku segera berlari menyusul si penggarap itu ke rumahnya dan menyerahkan uang bagianku. Aku bukan orang kaya tapi aku merasa sudah tercukupi setiap harinya, aku tidak kelaparan dan anakku pada saat itu masih bisa beli susu. Biarlah aku dianggap bodoh, biarlah aku dianggap menyalahi pakem, dan biarlah aku dianggap salah.

Toh aku melakukannya karena bagaimanapun juga sawah itu benda tak bergerak dan mereka yang merawatnya. Sudah seharusnya akupun berterima kasih, disaat terberat dalam kehidupan mereka aku membayar mereka karena telah merawat dan menjaga harta milik suamiku (mantan maksudnya). Dan aku bersyukur, hingga saat ini adalah saat paling berat dalam kehidupanku aku tak kekurangan apapun, Allah tetap memberikan rejekinya padaku meski tanpa suami.

Sahabatku, dari tulisanku di atas, aku menguraikan bencana apapun yang terjadi dalam kehidupan kita tidak membuat diri kita menjadi hanya menyelamatkan diri sendiri. Kalau kebaikan kita ternyata tidak mendapat balasan dari orang yang telah kita bantu, tapi Allah akan membantu kita ketika bencana (cobaan) kehidupan terjadi pada kita.

Maha Suci Allah yang telah memberikan banyak rejeki dan rahmatnya padaku. Dan akupun mendoakan sahabatku yang saat ini tertimpa musibah, tetaplah tegar dan tetaplah berpikir positif, tetap beribadah, hadirkan selalu Allah di hati kita agar kita senantiasa tenang dan bahagia.

Petunjuk Kebenaran Tuhan Tahun 2010 (September-Oktober) Jilid 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang