Part 9 : Be My .... ?

285 24 0
                                    

Go! Read! :3


"Ahhh!" aku memekik kesal. "Bateraiku sisa 12 persen dan charger-ku rusak!!!" teriakku gemas.

Aku langsung mencari power bank-ku dan berlari keluar kamar, menuju iBox terdekat. Tokonya memang tidak jauh dan untungnya masih buka. Setelah dapat, aku langsung menyambungkannya ke power bank-ku dan menghela nafas lega.

"Kita selamat," kataku senang. Aku sadar bahwa aku sudah menjadi budak teknologi dan tidak merasa buruk tentang itu sedikitpun.

Pulangnya, aku memutuskan untuk memutar jalan dan menghirup udara malam. Aku memperhatikan jalan sekelilingku dan melihat-lihat toko lain yang sebelumnya tidak pernah kulihat. Ohh ada bar juga disini! Mungkin aku bisa mulai minum kalau sudah umur 21 tahun hehe...

"Hajar terus!" terdengar suara ramai dari bar itu. Aku pertamanya takut tapi rasa penasaran membuatku menatap ke dalam bar itu. Terdengar pecahan kaca dan benturan ke benda kayu, juga raungan orang-orang.

"Hajar dia, Justin!!" teriak orang-orang.

"Kurang ajar! Kemari kau!" terdengar suara Justin dan aku spontan menyimpan HP-ku dan masuk ke dalam bar itu. Security bahkan tidak sadar aku menyeruak masuk.

"Justin!" teriakku melihat Justin sedang berada diatas seorang lelaki. Mereka berdua jelas-jelas berkelahi, terbukti dengan noda darah di mereka berdua. Aku menatap Justin tajam lalu menarik lengannya kasar. Kami berjalan keluar dari bar dan aku menariknya ke 7/11 terdekat, memaksanya masuk lalu mendudukkannya.

Aku berjalan membeli perlengkapan P3K dan ketika sudah kembali, ternyata Justin sudah tidak ada. Aku berjalan ke luar dan melihat Justin sedang duduk di bangku. Aku lega dia tidak kabur. Aku berjalan ke arahnya dan duduk disebelahnya.

Aku membuka P3K yang kubeli tadi dan mulai membersihkan luka Justin. Ada beberapa lecet di wajahnya dan bibir bawahnya pecah.

"Kamu peduli dengan keadaan orang lain tapi tidak peduli dengan keadaan sendiri!" omelku sambil membersihkan luka Justin. Justin tidak bicara apa-apa dan hanya diam sambil sesekali meringis ketika aku menyentuh lukanya. "Apa kamu pikir kamu hebat kalau bisa memukuli orang seperti itu? Sebagai seorang lelaki, kamu tidak boleh asal menggunakan tinjumu," kataku.

Aku menyimpan lagi P3K-nya dan Justin berdiri. "Pulanglah, Ash. Tidak baik kalau orang-orang melihat kita diluar kampus," kata Justin.

"Kenapa tidak? Kita tidak melakukan sesuatu yang bu..."

"Karena aku orang jahat, oke?? Aku suka bermain dengan banyak perempuan! Aku berhubungan seks, lalu pergi!" teriak Justin kesal. Aku terdiam menatap mata Justin yang penuh amarah.

"Kalau kita berada di sebuah ruangan, apa kita akan berhubungan seks?" tanyaku. Tatapan Justin melunak. "Hidupmu dipenuhi oleh orang-orang yang hanya mencari kenikmatan sesaat. Kurasa kamu belum pernah merasakan apa itu cinta. Suatu saat, kamu akan merasakaan bagaimana merindukan seseorang sampai rasanya sulit untuk bernafas," kataku. Aku memasukkan P3K-nya ke dalam tasku, bersiap-siap pergi. "Cinta itu sulit. Jika kamu tidak memilikinya, hidupmu akan hampa. Tapi jika kamu memilikinya, maka untuk memepertahankannya butuh usaha keras. Semua orang punya minimal dua pilihan. Kita punya kemampuan membuat pilihan dengan akal dan hati. Selamat malam," kataku lalu berjalan meninggalkan Justin.

Sekitar beberapa detik setelah aku berjalan, Justin mengejarku. "Ashley, tunggu!" kata Justin sambil berlari ke depanku, menghalangi jalanku.

"Iya?" tanyaku.

"Ajari aku!" katanya.

"Untuk?" tanyaku bingung.

"Mencintai. Kumohon," katanya.

"Bagaimana caranya? Hal itu tidak bisa dilakukan kalau,"

"Jadilah pacarku!" Justin memotong perkataanku.

Mataku membesar, kaget sekali. "Aku tidak bisa," kataku.

"Kenapa?" tanya Justin cepat.

"Aku tidak bisa," ulangku dan tidak menjawab pertanyaan Justin.

"Kamu punya pacar?" tanya Justin lalu aku menggeleng. "Punya seseorang yang kamu sukai?" tanya Justin lagi.

"Tidak," jawabku.

"Aku ingin kamu, hanya kamu. Bukan orang lain. Bukankah kamu ingin membantuku?" tanya Justin sambil menatapku serius. Aku hanya diam dan Justin menghela nafas. "Kamu sendiri introvert. Aku rasa kamu menyembunyikan sesuatu dariku. Tam tidak semudah itu peduli sama orang, pasti ada sesuatu," kata Justin yakin.

"Ah," aku terdiam melihat bunga dandelion menempel di pipiku. Justin mengambilnya lalu meniup bagian bunga itu dan dia terbang dengan bebasnya.

"Kumohon, Ash. Satu kesempatan. Aku tidak akan mengacaukannya. Aku ingin mengenalmu lebih jauh," kata Justin.

Aku menunduk lalu menghela nafas. "Baiklah, satu kesempatan," kataku.

"Yes!" kata Justin senang.

"Tapi tidak berarti kita berpacaran!" kataku tegas.

"Baiklah...," dia tersenyum lebar.


Jangan lupa vote and comment ya :3

Lost StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang