Part 21 : Breads?

247 17 0
                                    

Part ini chit chat aja sih :3 Meningkatkan imajinasi kalian aja hohoho :D


Aku hampir melonjak senang pagi ini. Aku pasrah, tadi malam aku kira akan demam dan ternyata, pagi ini aku merasa sehat sekali. Rutinitasku yang sangat sibuk membuatku kurang tidur. Ayah dan Ibu sangat khawatir denganku.

Aku meloncat dari atas tidur dan bersiap-siap untuk bergabung dengan Ayah dan Ibu dilantai bawah, sarapan bersama. Hari ini hari Sabtu, mungkin kita bisa jalan-jalan bertiga.

"Lihat siapa yang sehat?" tanya Ayah senang.

"Wajahmu merona! Itu baik!" kata Ibu riang.

"Aku senang aku baik-baik saja," kataku jujur. Aku menarik kursi disebelah Ibu dan mulai makan. "Aku masih lapar, sangat lapar," kataku.

Kami terlibat pembicaraan ringan pagi ini. Ibu membawa topik tentang kebun stroberi paman Harold yang akan mengirim stok stroberi mereka untuk persediaan selai stroberi ketika Valentine nanti.

"Ayah, Ibu," aku berdehem. Mereka berdua menatapku. "Aku ingin tiba di Kanada sebelum tanggal 1," kataku. Mulut Ibu membentuk huruf 'o' sementara matanya tertawa. Ayah sendiri tersenyum nakal.

"Ada apa?" Ayah berusaha profesional.

"Ibu rasa ini berhubungan cowok seksi bertato itu. Justin, ya kan?" tanya Ibu.

"Apa seleramu sudah berubah?" goda Ayah.

"Ini topik aneh," kataku malu.

"Apanya yang aneh? Ini hal baik! Niall akan senang dengan hal ini, mungkin sedikit kaget begitu tau yang menggantikannya adalah Justin," kata Ibu.

"Astaga, itu benar sekali," Ayah terkekeh.

"Apa kamu ingat seks pertama kita, Sayang?" tanya Ibu manja.

"Tentu saja! Kamu berteriak begitu kencang," kata Ayah mesra.

"Haruskah aku mendengar ini?? Astaga!" aku menatap mereka tidak percaya dan aku sadar wajahku pasti sudah memerah.

"Apa kamu sudah bercinta dengannya?" tanya Ibu, tidak menggubrisku.

"Tentu saja sudah," Ayah berspekulasi. "Apa dia hebat diranjang?" tanya Ayah tiba-tiba dan Ibu mengangguk, setuju dengan pertanyaan Ayah.

"AYAH!" teriakku lalu mereka berdua tertawa, tidak peduli sebarapa kuatnya aku berusaha menahan malu.

~~~~~

Aku memeluk diriku dan membiarkan alunan I Won't Give Up dari Jason Mraz memanjakan telingaku ketika menunggu roti terpanggang dengan sempurna. Ini sudah dekat Valentine, bunga, cokelat, dan cinta ada dimana-mana tentunya.

Seperti yang sudah dibayangkan, liburanku habis hanya untuk bekerja. Tapi aku tidak merasa dibebani dengan itu, aku malah menyukainya. Aku merasa hidup ketika bersentuhan dengan adonan roti itu.

"Ashley...," Ayah masuk dan tersenyum lebar. "Baunya enak!"

"Tepat," aku membuka ovenku lalu menarik nampan itu keluar. "Roti bunga mawar," kataku lalu Ayah tersenyum.

Kami berdua langsung menyicipi roti itu dan Ayah menggangguk-angguk puas.

"Sudah Ayah duga, sudah Ayah duga. Roti ini sempurna. Ah... akankah membosankan melihatmu membuat roti sempurna seperti ini, Nak?" tanya Ayah.

"Aku harap tidak," kataku tersipu.

Ayah dengan lahap menghabiskan rotinya lalu bersenandung senang, berjalan ke arah mesin pendingin. Mataku membesar, mengingat aku harus membuat Ayah menandatangani kertas persetujuan Summer School-ku.

"Ayah," panggilku.

"Ya?" Ayah menoleh cepat.

"Aku... butuh tandatangan Ayah," kataku lalu berjalan ke arah tasku. Aku melepas sarung tanganku dan mengambil kertas yang masih terlipat rapih itu.

"Apa ini tentang Summer School?" tanya Ayah.

"Ya, ini, kumohon," kataku sambil menyerahkan kertas itu dan sebuah pulpen. Ayah dengan cepat menandatangi kertas itu dan mengembalikannya padaku. "Thanks, Yah," kataku senang.

"Apapun itu, Sayang. Bisa kita bicara sebentar? Apa kamu sedang mood?" tanya Ayah.

"Mood-ku baik," aku menatap Ayah.

"Emm... ini mengenai bisnis kita," kata Ayah. Aku mengangguk dan menatap Ayah. "Apa... kamu berpikiran untuk menggantikan Ayah suatu saat nanti? Ayah butuh untuk memastikannya jadi Ayah bisa menaruh namamu di surat," kata Ayah. Aku terdiam dan partikel otakku seperti kalang kabut menyusun kata-kata yang baik untuk diungkapkan. "Atau kamu ada passion lain?" tanya Ayah hati-hati.

"Well," aku tersenyum, berusaha menenangkan suasana. "Aku begitu suka roti, adonan, tepung, semuanya," kataku lalu melepas topiku. "Aku akan coba," aku tersenyum bijak.

Ayah menghela nafas lega. Aku pasti membuat Ayah gugup untuk beberapa saat tadi. "Ayah senang sekali," kata Ayah. Ayah menghela nafas lagi, terlihat lebih lega. "Kita akan coba ketika kamu sudah 21 tahun," kata Ayah lembut.

"Kapanpun itu, Yah," kataku lembut.

~~~

"Hallo!" aku mengangkat telpon dari Justin.

"Foto yang tadi, apa itu desain roti untuk Valentine?" tanya Justin. Terdengar suara banyak orang bicara dibelakangnya.

"Ya! Rasanya lumayan," kataku, tersenyum kecil. Aku memang baru mengirimkan Justin foto roti terbaru-ku.

"Aku yakin itu nikmat. Aku mau sampel," kata Justin melucu.

"Aku akan bawa tentunya. Justin, ada siapa disana?" tanyaku penasaran.

"Tunggu. Jangan masuk ke kamarku, ada yang lain di dapur," suara Justin terdengar jauh. "Hey," suaranya kembali dekat.

Aku merengut. "Siapa?" tanyaku datar.

"Astaga, aku bisa merasakan rengutanmu. Itu Bianca, sepupuku. Banyak orang berkumpul disini," Justin menerangkan dengan geli.

"Oh...," aku bersemu merah.

"Apa kamu cemburu?" nada Justin sudah tidak segeli tadi.

"Sedikit," jawabku cepat.

Justin menghela nafas. "Apa kamu butuh semacam bukti bahwa aku tidak menyentuh wanita lain selain ibuku selama kamu pergi, Nona Treslin?" tanya Justin.

Aku tersenyum kecil. Aku suka ketika Justin seperti ini. Dia terlihat sangat bersungguh-sungguh.

"Aku percaya padamu," jawabku jujur.

"Hah... kamu membuatku gila," Justin terlihat menghempaskan dirinya ke sofa, mengingat dia di ruang tamu sekarang. "Kapan kamu sampai di Kanada, Nona?" tanya Justin.

"Ayah belum menyerahkan tiketnya, nanti akan aku kirim via email," kataku.

"Tidak sabar bertemu denganmu," goda Justin.

"Aku juga," aku tersipu. Lagi.

Jangan lupa vote dan comment ya :D

Lost StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang