Part 18 : Going Back Home

294 18 3
                                    


Aku melipat pakaian-pakaianku sebelum memasukkannya ke dalam koper. Aku sudah sangat siap untuk pulang ke LA sekarang. Aku menatap ke atas meja dan mendesah lega karena melihat kertas persetujuan Summer School-ku masih tergeletak di atas meja. Aku pun mengambil kertas itu dan melipatnya dengan rapi lalu menyelipkannya ke dalam tas tanganku.

"Ting tong...," bel berbunyi dan aku spontan memutar badanku.

Aku menutup sebelah mataku, menatap siapa yang berdiri di balik pintu melalui lubang kaca. Ternyata itu Justin! Hatiku melonjak dan rasa senang langsung menyelimutiku. Aku membuka pintu dengan cepat.

"Justin!" kataku senang.

"Hey! Aku dengar kamu sedang beres-beres. Boleh aku masuk?" senyumnya melebar, menampakkan giginya yang rapi.

"Tentu saja!" kataku senang.

Aku membiarkan Justin lewat dan dia langsung menatap koper-ku. "Kamu sangat membutuhkan bantuan," kata Justin.

"Sebenarnya...," aku menyusulnya. "Aku hanya perlu memasukkan baju-baju ini," kataku lalu memasukkan baju-baju yang sudah kusiapkan dan menutup koper itu. "Selesai," kataku lalu tersenyum manis.

"Oke," Justin meresleting koperku dan jemari terampilnya memasang gembok, mengakhiri bantuannya dengan mengacak nomor seri di gembok. "Ini baru selesai," dia mendirikan koperku.

"Terimakasih," kataku senang.

Alisnya berkerut. "Aku... mendengar... lagu...," katanya sambil menatap ke sekelling kamarku.

"Oh," aku meloncat riang dan mengeraskan suara radio. Lagu Maroon 5 yang berjudul The Air I Breathe. Aku berbalik dan menatap Justin.

"Ayo berdansa," dia mendekat ke arahku dan meraih kedua tanganku.

Dia menggenggam tanganku dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya memegang pinggangku dengan sopan. Kaki kami bergerak perlahan, mengikuti irama musik.

"Woah!" aku tertawa senang begitu Justin melontarkan badanku dan mengangkat tanganku keatas. Dengan terampil, aku memutar badanku dan dia memelukku erat.

Itulah dia, putaran pertama dan terakhirku. Kami menghabiskan sisa lagu hanya dengan saling berpelukan. Aku menjalankan jemariku dirambut tebal Justin yang berwarna cokelat cerah. Aku bisa melihat sisa warna pirang, sepertinya dia pernah mewarnai rambutnya.

"It's you who that I can't leave without... You're everything, the air that I breathe...," Justin bernyanyi dengan lembut.

Mataku membesar dalam pelukannya. Suaranya begitu bagus! Dia harusnya bisa menjadi penyanyi, plus dengan wajah tampannya.

"Aku tidak tau kamu bisa bernyanyi," kataku, berusaha menyembunyikan kekagetanku.

"Mungkin kamu juga tidak tau kalau aku bisa bermain gitar, piano, dan drum sejak kecil," tambahnya lalu aku melepaskan diri dari pelukannya, menatapnya degan kagum. "Aku serius," dia tersenyum manis.

"Kamu penuh kejutan," kataku lalu tertawa senang.

Justin menarikku lagi dalam pelukannya. "Ingin seks 'sampai jumpa lagi nanti'?" tanya Justin lalu aku tertawa kencang. "Senang melihatmu tertawa. Sepertinya ada banyak perubahan dalam satu semester," kata Justin.

Aku menatapnya. "Kurasa ya, banyak perubahan," kataku. "Untuk menjawab pertanyaan pertama, ya aku mau," kataku.

~~~

Justin membantuku turun dari atas badannya. Aku merasakan penisnya keluar dari kemaluanku, meninggalkan vaginaku yang masih berkedut sehabis orgasme. Dia merapikan rambutku dan membungkus badan kami didalam selimut.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Justin.

"Iya," jawabku, masih berusaha mengumpulkan tenaga.

"Sayang," dia tertawa geli. "Kamu benar-benar harus berolahraga kapan-kapan," katanya, sedikit menuntut.

"Aku akan coba," aku mengangkat badanku, menaruh kepalaku diatas dada Justin. Dia merengkuhku dan aku merasakan detak jantungnya.

"Orang-orang mulai menanyakan tentang kita," kata Justin.

"Oh ya?" aku menatap jemari kakinya yang menyembul keluar dari ujung selimut.

"Aku ingin bilang kita pacaran, tapi kita tidak pacaran. Mau bilang tidak, tapi... kata-kata itu doa. Membingungkan," kata Justin lalu kami tertawa kecil.

Aku duduk disebelah Justin lalu dia menatap dadaku. "Mataku disini," kataku sambil mengangkat dagu Justin.

"Maaf," dia tertawa geli.

"Aku orang yang sangat.. tidak menyenangkan. Kamu bisa bilang begitu," kataku.

"Setahuku, kamu punya banyak cara untuk bersenang-senang dibanding semua wanita metropolitan yang aku tau," Justin menopang kepalanya dengan tangan kirinya, menghadap kearahku.

"Aku hanya tau satu orang yang bisa kucintai. Aku tidak.... maksudku... aku payah dalam hal ini. Kamu orang kedua yang berhubungan seks denganku dan... aku...," aku menatapnya gugup. Tatapannya seakan mencekikku padahal dia hanya mendengarkan dengan sangat baik.

"Lanjutkan, Nona Treslin," dia tersenyum kecil.

"Aku bahkan tidak tau apa aku sudah benar-benar bisa melupakan Niall atau belum. Tapi otak dan hatiku tidak bekerja sama jika itu tentangmu," kataku.

"Kamu tidak suka ketika aku menyentuhmu? Atau... ketika kita berhubungan seks?" tanya Justin, masih dengan tatapan datarnya.

"Aku suka," kataku. Kata-kata itu meluncur dengan mudahnya dari bibirku.

"Kamu tidak suka ketika menghabiskan waktu denganku? Ketika kita berdansa bersama? Ketika kita tertawa dan makan bersama?"

"Sangat menyukainya," jawabku pelan.

"Kalau begitu... pikirkanlah untuk menjadi pacarku," Justin tersenyum, akhirnya. "Aku suka kamu, aku bisa menyadarinya dengan sangat mudah. Kamu berbeda, dan aku menyukainya," dia menyentuh pipiku dan aku memejamkan mataku, menikmati sentuhannya. "Aku akan merindukanmu selama kamu pergi. Alasanmu tadi, aku bisa menerima. Berkomitmen dengan seseorang memiliki resiko masing-masing dan aku mengerti," dia mencubit pipiku.

'Terimakasih," aku tersenyum lega. Justin mencium bibirku lembut dan aku tiduran lagi disebelahnya.

Jangan lupa vote dan comment nya ya :3

Lost StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang