Part 32 : The Windmill

219 16 0
                                    

Enjoy x

Aku menghabiskan liburanku dengan sangat tidak bermanfaat. Ayah tidak mengizinkanku masuk ke Pabrik. Aku paham, Ayah takut aku menyebarkan aura badmood ini kemana-mana.

Well, daripada membuat orang tidak bersemangat kerja, aku memilih untuk bermain game, makan, tidur, makan, tidur, dan.... tanpa aku sadari, aku akan kembali ke Kanada lagi besok. Kenapa liburan 2 bulan ini terasa sangat singkat? Aku belum siap menemui Justin dan Melissa si perut besar!

"Drrtt drrtt...," HP-ku bergetar, tanda ada SMS.

Bicara denganku ketika kamu sudah di Kanada. Kumohon.

Itu Justin. Aku menghela nafas lalu meletakkan HP-ku lagi. Aku bertelungkup dan memeluk bantalku kuat-kuat. Mataku menatap kaset yang kuambil dari lemari Niall beberapa waktu lalu. Tiba-tiba aku sangat ingin menontonnya.

Aku beranjak dari tempat tidurku dan duduk didepan meja belajar. Aku menyalakan laptopku dan memasukkan CD itu. Dengan sabar, aku menunggu CD itu diputar.

"Lihat ini," Niall menunjukkan kincir angin warna warni didepan kamera.

"Iya," aku berusaha menahan tawa dan duduk disebelahnya. "Oke, ada apa dengan kincir angin itu?" tanyaku.

"Lihat," Niall memutar kincing angin itu dan warnanya berubah menjadi putih. Aku memperhatikan dan tersenyum manis. "Mau dengar filosofinya?" tanya Niall.

"Sangat tertarik, Tuan," jawabku lalu tersenyum manis.

"Ini. Anggap saja warna-warna ini seperti masalah yang ada dalam kehidupan. Pertengkaran, amarah, salah paham, iri hati, dan lain-lain. Tapi, ketika kita putar, dengan kata lain kita menjalani kehidupan terus, semuanya akan putih. Putih itu indah," Niall mengelus pipiku. Aku tersenyum manis sambil menatap Niall terus. "Jadi, ketika hidup menyusahkanmu dengan menunjukkan salah satu warna ini secara dominan, kamu harus terus menjalani kehidupanmu sebaik mungkin," kata Niall.

"Ya, hingga semuanya putih lagi," bisikku. Niall mengangguk lalu mencium keningku. "Aku akan mengingatnya," kataku pelan.

"Hehe...," Niall terkekeh dan tawaku meledak.

"Pik," video itu berhenti dan aku menghela nafas.

"Bagaimana bisa...," gumamku pelan. Aku menatap HP-ku yang bergetar lagi. Ada SMS lain.

Kumohon! Bantu aku! Justin akan dipaksa bertanggung jawab jika dalam 2 bulan tidak ada bukti yang menyatakan DNA itu bukan DNA Justin. Kumohon, Ashley! Bantu aku! Bantu sepupuku! Aku mengerti kamu marah, tapi aku yakin itu bukan Justin!

Aku terdiam. Aku mengingat-ngingat lagi tulisan dikertas pernyataan itu. "Ah," mataku membesar. Bukankah sperma akan mati setelah 24 jam? Well, meski Melissa bilang sudah mencetak kertas itu cukup lama, tapi.. untuk apa menahan? Dia punya banyak waktu untuk langsung menunjukkan itu. Bagaimana kalau... sperma itu baru? Bagaimana kalau Melissa berbohong tentang waktu pengecekan DNA itu?

"Bagaimana dia bisa mendapatkan sperma Justin?" tanyaku ke diri sendiri. Aku memegang kedua sisi kepalaku dan berpikir keras.

"Ashley, apa kamu mau... Sayang? Ada apa?" tanya Ibu.

"Seks di hutan!!" teriakku tiba-tiba.

"A... Ash?" panggil Ibu. Aku langsung menengok dan menutup mulutku.

"Bu Bu Bu, apa Ibu punya kenalan polisi???" tanyaku.

"Untuk apa?" tanya Ibu kaget melihatku langsung berlari ke arah Ibu.

"Seseorang yang bekerja di Lab!" kataku cepat.

"Ibu... punya teman SMA yang bekerja di Lab Kriminal," kata Ibu lalu berjalan keluar kamar. Aku mengikuti Ibu. "Untuk apa, Sayang?" tanya Ibu.

"Menyelamatkan hubunganku dengan Justin," jawabku serius.

"Well....," Ibu mengangguk dan tidak bertanya lagi.

Ibu memberikan kontak Nyonya LaRousse. Aku langsung berlari ke kamar dan mengunci pintunya. Aku butuh konsentrasi penuh. Aku bahkan menolak Lucky masuk ke kamarku untuk sekarang. Maaf, Sayang.

"Hallo, Ashley," kata Nyonya LaRousse ramah ketika aku memperkenalkan diriku.

"Hallo, Nyonya LaRousse," sapaku.

"Tolong, Ally saja," katanya lembut.

"Oke, Ally. Umm... aku butuh bantuan. Pacarku dituduh menghamili seorang Perempuan. Perempuan ini... dia menunjukkan bukti bahwa DNA yang ada itu DNA Justin. Dari kertas itu, dia menunjukkan bahwa hasil diperoleh melalui sperma yang diakuinya sudah dicetak beberapa waktu lalu, ketika aku sedang liburan. Tapi.. aku tidak yakin pacarku benar-benar berhubungan seks dan menghamili perempuan itu," kataku menjelaskan.

"Apa kamu melihat nomor seri kertas itu? Biasanya surat resmi selalu memiliki nomor resmi, semacam nomor penelitian," kata Ally serius.

"Tidak! Maksudku... aku kacau waktu itu. Sekarang, aku mendengar kabar kalau dalam 2 bulan kami tidak bisa membuktikan kesalahan pengecekan itu, Justin, pacarku akan menikahi perempuan itu," kataku lirih.

"Aku akan coba semampunya. Aku akan buktikan sperma itu sperma milik Justin atau bukan. Ataukah ada permainan di balik ini semua," kata Ally.

"Ally, bisakah kamu mengecek kandungan campuran dalam sperma Justin juga?" tanyaku.

"Well, mungkin semacam pewangi pakaian kalau hubungan seks itu dilakukan diatas tempat tidur," kata Ally.

"Baiklah. Kapan aku bisa mengetahui kabar berikutnya?" tanyaku.

"Secepatnya, paling telat besok pagi. Aku butuh nama teman wanitamu itu," kata Ally.

"Melissa... Andrews," kataku mengingat nama panjang Melissa. "Apa itu cukup?" tanyaku.

"Nama pacarmu?" tanya Ally.

"Justin Bieber," jawabku cepat.

"Tunggu telpon dariku, Sayang. Tenanglah," kata Ally seperti tau jantungku sudah berdegup kencang daritadi.

"Terimakasih banyak," aku menutup telponnya lalu memeluk lututku. "Kumohon, kumohon," aku berdoa dalam hati.

Jangan lupa vote dan comment ya x

Lost StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang