"Cie~ cie~," sorak teman gue yang membuat lamunan gue buyar.
Seketika wajah gue terasa panas. Dan mata gue pun tak berhentinya berkedip.
"Cie~ udah baikan ya?" Goda Vanie.
Mereka emang enggak pernah habis-habisnya bikin gue kesel.
"Apa cie cie?!" Tekas gue yang membuat mereka diam, tapi terlihat dusta.
"Udah ah, lo balik ke tempat asal lo aja," usir gue.
"Oke deh, bye!" Pamitnya.
Duh, panas nih muka gue! Detak jantung gue udah gak karuan gini. Apes deh!
*
Bel pulang sekolah udah bunyi sekitar sepuluh menit yang lalu, tapi gue masih betah di dalam kelas. Biasa, gue sedang melaksanakan tugas piket sendirian, karena tiga teman gue yang seharusnya piket bersama gue udah melongos pergi ninggalin gue sendirian di sini.
Gue merasa udah super duper bersih di setiap sudut kelas. Sapu dan serokan gue taruh di tempat penyimpanan biasanya. Karena gak mau tinggal di kelas lama-lama, gue ambil tas gur dan segera pergi keluar kelas, tak lupa pula gue tutup pintunya serta di kunci.
Saat hendak melangkahkan kaki, tiba-tiba tangan gue di tarik oleh seseorang membuat gue mau gak mau ikut tertarik. Terlihatlah seorang cowok yang berbadan tegap, tinggi, dan sangat tampan. Ia melukiskan sebuah senyuman khasnya yang membuat semua orang luluh, termasuk gue.
"L-lo.. kenapa masih di sekolah?" Tanya gue terbata.
Entah kenapa gue ngomongnya terbata gitu. Tangan gue? Tentu aja dingin sekarang. Apalagi tadi dia udah membuat jantung gue berdebar tak karuan.
"Jalan yuk!" Ajak Peter sambil mengandeng tangan gue.
Sumpah! Jantung gue berdetak gak seperti biasanya.
"Kita mau kemana?" Tanya gue yang gak dijawab olehnya.
Saat tiba di parkiran, dia membukakan pintu mobilnya dan menyilahkan gue masuk. Entah kenapa tubuh gue dengan refleks bergerak begitu aja. Lalu, ia masuk dan menduduki bagian pengemudi.
Peter melajukan mobilnya keluar dari perkarangan sekolah. Entah setan apa yang ikutan masuk ke dalam mobilnya ini membuat kita berdua dilanda keheningan. Gue sibuk memikirkan kalimat apa untuk di katakan.
"Setau gue, sekolah gak ngizinin siswanya bawa mobil deh," kata gue mencari topik.
Peter memandang gue bentar. Gue merasa risih dengan tatapan yang diberikan Peter. Apa gue salah ngomong ya?
"Apa gue salah ngomong ya?" Kata-kata itu terlepas dari mulut gue, padahal gue cuma berkata dalam hati.
Gue mengutuk diri gue sendiri karena keceplos ngomong.
"Enggak kok," balasnya dengan senyuman mautnya itu.
Mobil Peter berhenti di parkiran depan cafe yang cukup terkenal di daerah kota tempat gue tinggal ini. Gue membuka pintu mobil bersamaan keluarnya Peter dari mobilnya.
"Ngapain ke sini?" Tanya gue sambil berjalan mendekatinya.
"Lo gak liat di depan? Kan ada cafe," balasnya cepat.
"Iya, gue tau itu cafe. Tapi, ngapain juga ke sini? Gak enak tau," kata gue kesal.
Tentu aja gue kesal. Soalnya gue gak suka di tempat banyak orang, apalagi ramai. Lebih baik gue pulang aja tadi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Move On
Teen FictionChristal Faith. Seorang gadis remaja yang jatuh cinta pada pacar pertamanya. Tetapi diputuskan karena ada sesuatu hal. Ia berusaha untuk melupakan (mantan) pacarnya itu, tetapi tidak bisa. Bagaimanakah kehidupan sehari-harinya? Apakah ada orang lain...