Buku merah

2.9K 189 4
                                    

Gibran : Ki, aku udah di cafe.

Pesan masuk itu membuat Kia tersenyum senang. Ia bangkit dari duduknya dan segera melangkah menjauhi lapangan sekolah. Ya, sedari tadi ia duduk dipinggir lapangan sekolah untuk menunggu sebuah pesan dari Gibran.

Dengan cepat ia melangkah menuju cafe yang dimaksud Gibran. Tidak perlu waktu lama, karena Cafe tersebut letaknya tepat di sebrang sekolah Kia.

"Heh bocah, mau kemana?"

Suara yang sangat Kia kenali itu membuatnya berhenti. Ia melirik ke belakang, dan melihat seorang pria dengan motornya baru saja berhenti di sampingnya.

"Lo mau kemana?" Tanya Geo. Pria yang tadi memanggil Kia.

"Bukan urusan lo," ucap Kia enteng sembari berlalu.

"Heh! Ga mau terimakasih sama gue gitu?! Gue udah ga marah sama lo kan! Heh!" Teriak Geo yang tidak dihiraukan sama sekali oleh Kia.

Kia hanya mengangkat bahunya tidak peduli. Bukan urusan dia lagi tentang masalah kemarin. Toh, Geo sudah memaafkannya. Untuk apa ia berterima kasih?

Kling...

Suara lonceng itu menandakan seseorang masuk ke dalam cafe.

Gibran menyambut orang tadi dengan lambaian tangan dan senyumnya.

"Kia," sapanya.

Iya, orang tadi Kia.

Kia melangkah menuju tempat Gibran berada. Ia segera duduk dibangku hadapan Gibran.

"Udah lama?" Tanya Kia.

Gibran hanya tersenyum dan menggeleng. "Engga. Nyantai aja,"

Kia tersenyum. Ini lah yang ia suka dari Gibran. Gibran tidak suka mempermasalahkan hal sepele. Beda dengan pria itu.

Andaikan sikap Geo sedikit mirip Gibran. Gue ga akan setengah mati nolak perjodohan ini.

Kia menggeleng cepat setelah berpikir seperti itu. Baginya itu hal terkonyol yang ia pikirkan.

"Kenapa?" Tanya Gibran aneh.

Kia tersenyum, "Hah? Engga kok."

"Ohh, yaudah. Mau pesen apa? Aku yang traktir," tawar Gibran yang dihadiahi tatapan senang Kia.

●●

"Eh! Buku merah gue ilang!" Teriak Kia sambil mengeluarkan semua isi tasnya.

"Hah? Buku merah? Apaan? ... oh! Buku yang selalu lo bawa itu?" Tanya Febi aneh.

Iya, sekarang Kia dan Febi sedang kerja kelompok. Tadi siang, mendadak Febi menelfon Kia untuk kerja kelompok. Karena tugasnya mendesak untuk besok, dengan terburu-buru Kia pun pergi menuju rumah Febi. Ya, tentu dengan izin Gibran.

"Ketinggalan kali," ucap Febi.

"Engga, tadi pas gue nunggu Gibran masih ada kok. Gue masukkin tas pas udah mau ke cafe," kata Kia yakin.

"Paling jatuh Ki, besok aja cari dilapang. Kalo ga ada, paling dibuang Mang Asep," ucap Febi santai.

"Febia Anandia, itu buku berarti buat gue. Semua rahasia gue ada disitu! Gamasalah kalo jatuh terus gaada yang ambil. Nah, kalo ternyata ada yang ngambil terus ngebuka?! Mati gue!" Ucap Kia berapi-api.

"Rahasia? Jadi selama ini, masih ada hal yang lo sembunyiin dari gue? Apaan ga? Kayaknya besar banget," selidik Febi.

Kia memutar bola matanya, "Udah deh gapapa. Gausah bahas. Buruan kerjain, entar keburu sore banget."

"Nah kan, ngalihin pembicaraan," timpal Febi.

"Ada apa sih?! Kasih tau!" Lanjut Febi.

Kia terdiam. Ia bukan tidak mau bilang pada Febi, hanya saja ... belum waktunya.

"Jadwal menstruasi gue. Puas?" Bohong Kia.

Mampus. Konyol banget alesan gue. Mati lo, emang pada dasarnya gue gabisa ngebohong kali ya.

"HAHAHA ANJIR!" Tawa Febi meledak mendengar alasan Kia.

"Bayangin Mang Asep ngeliat, terus tau tanggal menstruasi lo! Bayangin! Aib lo diketahui sama cowo yang bahkan bukan siapa-siapa lo! Anjir ngakak!" Lanjut Febi tidak lepas tertawa.

Kia hanya diam, ia memandang wajah sahabatnya itu dengan tatapan heran.

Gue emang ga pinter bohong, tapi seengganya Febi ga terlalu pinter buat ngebaca kebohongan gue. Ngomong-ngomong, selera humor lo receh, Feb.

Di lain tempat, seseorang sedang mengamati sebuah catatan. Catatan yang membuat kedua alisnya bertautan. Ia menutup catatan itu, catatan yang terselip didalam sebuah buku merah.

Ia menutup buku itu dan segera menaruhnya di atas meja belajarnya. Sesekali ia bergumam, "Konyol. Ini ga mungkin."

"Gue percaya Kia, dan sahabatnya itu."

-Tbc-

The Secret [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang