"Gibran!" Panggil seorang wanita berambut panjang itu.
Sabrina. Ia sedang terduduk di cafe dekat sekolahnya. Gibran menghampirinya dengan seragam yang sama dengan Sabrina.
"Sorry lama. Omong-omong, ada apa? Tumben lo ngajak ketemuan segala," tanya Gibran langsung ke inti.
Sabrina menghela nafas pelan lalu menyesap minumannya pelan, segelas caramel macchiato.
"Gue ngerasa Geo udah ga ada feel sama gue," ucap Sabrina membuat Gibran bingung.
"Sorry, lo pasti bingung kenapa gue tiba-tiba bilang gini ke lo. Tapi ... gue rasa lo tau sesuatu deh," jelas Sabrina makin membuat Gibran terdiam.
"Tau? Maksud lo tentang apa?" Respon Gibran bingung.
"Yang kemarin. Lo pasti udah tau apa yang bakal Geo omongin, makannya lo buru-buru pergi bawa Kia. Ya kan?" Tanya Sabrina lembut.
Ia tersenyum miris sambil tertunduk membuat Gibran tidak enak hati.
"Gue tau, mungkin Geo ada hati sama Kia."
Ucapan singkat itu berhasil menyentil hati Gibran. Ia menatap Sabrina. Gadis itu sama dengannya, terluka karena orang yang dicintainya.
"Sab," Gibran memulai pembicaraan.
"Sebelumnya, gue mau minta maaf. Sebagai cowok, ga gentle gue ngucapin hal-hal kayak gini di depan lo. Tapi, setelah liat keadaan lo, gue ga bisa diem doang.
"Sebenernya ... Geo sama Kia ... mereka dijodohin,"
●●
"Apa?! Lo gila, Ki?! Lo mau ancurin hubungan yang udah lo bangun susah susah?" Tanya Febi kesal mendengar penjelasan Kia.
Kia menunduk frustasi, "Ya terus gue harus gimana?! Gue harus terus pura-pura?! Gibran juga?! Lo gatau di posisi gue gimana, Feb. Lo gatau!"
Febi terdiam, ia menatap wajah sahabatnya itu terlihat frustasi. Ia pelan-pelan memaklumi keputusan Kia. Ia menepuk-nepuk punggung Kia, berharap gadis itu agak tenang.
"Ki, gue minta maaf. Gue dukung apa yang lo pilih. Tapi, dengan satu syarat! Lo ga boleh nyesel sama hal itu," Jelas Febi.
Kia menunduk, bibirnya mengatakan 'gue ga akan nyesel'. Tapi dia tidak bisa membantah, hatinya mengatakan 'gue ga yakin'.
Kia membaringkan badannya di kasur Febi sambil memejamkan matanya. Febi melihat itu dengan iba.
Pasti ini sulit buat lo, Ki.
●●
Sabrina : Ge, sore ini ada waktu? Gue mau ke toko buku buat cari novel baru. Temenin yuuuu, please.
Geo membaca pesan dari Sabrina dengan malas. Ia melempar ponselnya asal. Dan hebatnya, justru mengenai tepat kepala Boby.
"Kalo galau ga usah pake nimpuk, bangsat." Ringis Boby.
Geo diam tidak merespon, ia masih menatap layar tv nya sambil menonton acara yang jelas ia tidak tau apa karena sedari tadi pikirannya melayang kemana-mana.
Boby yang dari tadi asyik dengan ponselnya, kini duduk disamping sepupunya itu.
"Heh, jangan galau gitu. Lo galau kayak orang gila," celetuk Boby.
Geo menatap Boby jengkel lalu menempeleng kepalanya, "Diem, gue lagi mikir."
"Uuu tayang-tayang, kebanyakan mikir entar kepala depan lu botak lho! Kayak Pak Rudi!" Canda Boby mengingat guru killer barunya, Pak Rudi yang memang kebetulan berambut botak di bagian depannya.
"Ck, dasae murid durhaka! Ga dinaikkin lo baru tau rasa," ucap Geo mulai bercanda.
"Nah! Gitu dong santai dikit," ucap Boby.
Geo pun tertawa kecil lalu meneloyor kepala sepupunya itu. Ya, meskipun konyol tapi Boby bisa menjadi moodboosternya disaat seperti ini.
Drt...
Getar ponsel itu membuat Geo terdiam. Boby menatapnya sejenak, "Selesaiin masalah lo, Bro. Kasian cewek lo gantungin mulu kayak jemuran."
Geo pun dengan berat hati mengambil ponselnya yang ia lempar asal tadi. Lalu membaca sebuah pesan.
Kia : Kita perlu bicara. Temuin gue di cafe depan komplek sekarang. Jangan bawa si curut Boby. Gue perlu serius.
Geo menarik nafas berat. Baru saja beban di otaknya ringan karena candaan Boby. Kini karena sebuah pesan singkat dari Kia, otaknya kembali dibuat penat.
Geo pun segera bangkit dari duduknya dan mengambil jaket yang ada di sofa ruang tamunya.
"Mau kemana lo?" Tanya Boby yang bingung dengan Geo yang tiba-tiba pergi.
Dari depan pintu Geo tersenyum miris, "Nyelesaiin masalah."
●●
"Ada apa?" Tanya Geo langsung ke inti.
Kia tersenyum heran, "Minum dulu kali. Serius amat."
"Gue mau ini cepet selesai," ucap Geo singkat dan dingin.
Kia merutuki hatinya sekarang yang merasa Geo sangat kejam padanya. Dan menyebalkannya, Kia merasa tidak senang akan hal itu. Padahal beberapa waktu yang lalu, sikap ini bukan sikap aneh yang Geo tunjukkan padanya.
"Gue mau kita jujur sama hubungan kita masing-masing. Gue ... gue bakal jujur hari ini sama Gibran dan lo harus jujur sama Sabrina ... secepatnya," jelas Kia.
Geo terdiam, ia menatap Kia sekilas. Ia tau, sebenarnya gadis itu takut. Ia takut kehilangan orang yang ia sayangi. Tapi ia melakukannya. Dan sekarang, Geo merasa dia pengecut yang lari dari resiko yang seharusnya ia tanggung bersama Kia.
Geo menarik nafas dalam, "Oke. Kita lakuin."
Kia tersenyum miris, ia menunduk dan tidak dapat ditahan, air mata Kia turun membasahi pipinya.
Pelan namun pasti, Geo menyentuh dagu Kia dan mengangkat wajah Kia pelan. Ia mengusap air mata Kia dan tersenyum lembut pada Kia.
Bagus. Disaat seperti ini, jantung Geo malah berdetak cepat. Berusaha menenangkan Kia, tapi dirinya sendirilah yang justru harus menenangkan diri sendiri.
"Ge," ucap Kia ditengah tangisnya.
"Kalo gue butuh lo setelah kejadian nanti, apa lo ma--"
"Gue selalu di sisi lo. Dan lo tau itu pasti," potong Geo membuat seulas senyuman di bibir Kia.
Ya. Gue bisa ngelakuin ini. Ga ada yang salah kan dari merelakan orang yang gue sayang? Ini yang terbaik.
-Tbc-
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secret [Slow Update]
Teen FictionBegitu sampai di depan rumah Kia. Geo langsung menahan Kia, itu membuat Kia terdiam dan menautkan alisnya heran. "Karena gue punya kartu as lo, dan lo punya kartu as gue. Jadi, kita buat perjanjian, "Jangan pernah bilang ini sama siapapun. Jangan bi...