Kia berjalan malas menuju ruang keluarga. Papah dan Mamahnya sudah memintanya berkumpul. Ia tau pasti ada suatu hal penting yang harus dibicarakan.
Kia duduk di samping mamanya. Sementara papah nya duduk dihadapannya.
"Kia," Papah nya memulai pembicaraan.
Kia diam tanda memperhatikan. Begitupun mamahnya.
"Papah mau ngomongin tentang perjodohan kamu dan Geo," lanjutnya.
Kalau saja Kia sedang minum, sudah pasti dia tersedak.
"Kemarin Papah sama Mamah udah ketemu sama orang tua Geo. Mereka setuju, kalau kalian bertunangan. Jadi--"
"Apa? Pah, Kia sama Geo masih sekolah. Kita masih SMA. Kita ga perlu sampe tunangan, Pah. Kia ... belum siap." Potong Kia.
Kiran mengusap punggung anaknya dan tersenyum, "Ini cuman tunangan Kia. Kamu ga mesti nyiapin mental macem-macem. Ini cuman tanda kalo kamu sama Geo ada hubungan."
Kia mengerutkan dahinya, "Maksud mamah? Hubungan apa? Kia sama Geo bisa kok pacaran, tapi ga sampe tunangan kayak gini. Kita perlu waktu."
Kiran menatap suaminya meminta pendapat. Aryo, suami Kiran sekaligus Papah Kia, akhirnya tersenyum mengalah.
"Yasudah. Nanti Papah bicarakan lagi. Tapi ingat, kamu sama Geo udah dijodohkan. Jangan buat hal aneh-aneh. Paham?"
Ucapan Papahnya barusan menohok bagi Kia. Secepat kilat bayangan Gibran kembali. Luka nya kembali. Perasaan sesak itu kembali. Memori indah yang berganti buruk pun kembali.
"Udahkan? Kia mau ke kamar."
Kia pun berbalik meninggalkan orang tuanya yang bingung. Pasalnya, Kia selalu berubah saat membicarakan perjodohan ini. Seolah dia menolak tapi tidak bicara.
Kiran menatap suaminya, "Perasaan mamah, ada yang Kia sembunyiin."
●●
"Eh? Kia belum masuk juga?" Tanya Febi.
Geo mengangguk menimpali, "Tapi yang penting dia udah baik-baik aja."
Geo, Boby, dan Febi kini jadi lebih sering bersama. Entah karena apa.
"Eh, Ge. Ngomong-ngomong, Sabrina sama pacarnya si Kia--ralat, maksud gue, mantannya Kia. Mereka apa kabar?" Celetuk Boby.
Geo yang tadinya asyik menggeser-geser layar ponselnya langsung terdiam. Seketika bayangan Sabrina kembali lagi. Rasa bersalah muncul lagi. Sesak itu terasa lagi. Semua hal buruk kembali ke memorinya.
"Lo ngapain nanya gituan sih, Bob? Ga tepat banget," kesal Febi.
Sementara itu Geo tersenyum getir, "Gapapa, Feb. Bener kok dia ngingetin. Gue emang ga berhak lupa sama kesalahan gue itu. Gue harusnya bertanggung jawab. Tapi, sekarang gue gatau gimana caranya."
Boby menepuk pundak sodaranya itu, "Gapapa, Ge. Lo ga salah amat kok. Ya walaupun lu bego udah nyakitin cewe malaikat kayak Sabrina. Tapi seengganya lo bisa jujur pada akhirnya. Gue yakin kok, Sabrina jodohnya pasti lebih dari lo. Ya secara gitu, masa cewe malaikat kayak Sabrina dapet jin tomang kayak lo."
Pletak
"Lo kadang kalo ngomong bikin emosi ya. Untung sodara."
Geo berlalu meninggalkan Boby yang masih meringis karena jitakan Geo. Sementara itu, Febi menahan tawanya melihat ekspresi Boby.
●●
Seorang pria bertubuh tinggi dengan kulit putihnya itu kini terlihat acak-acakkan. Sebatang rokok ditangannya yang menemaninya.
Gibran.
Nama itu yang ada di name tag bajunya. Pria yang baru saja merasakan patah hati. Pria yang baru saja merelakan kebahagiannya demi cintanya.
Krek..
Suara pintu terbuka. Seorang gadis berambut sepunggung berjalan mendekati Gibran. Gibran segera membuang puntung rokoknya dan meninjaknya sampai mati.
Hembusan angin yang cukup kencang di atap sekolah ini, membuat rambut gadis itu sedikit berantakan.
Gadis itu tersenyum, "Hai, Gib."
"Hai, Sab."
Sabrina. Gadis itu. Mata panda masih setia di wajahnya.
"Cowok kalo lagi banyak pikiran, larinya ke rokok ya?" Tanya nya sambil berdiri di samping Gibran dan melihat pemandangan dari atap sekolah.
Gibran terkekeh, "Hm. Itu buat gue tenang."
Sabrina melirik Gibran dan tersenyum, "Tapi, Kia ga akan suka kalo lo ngerokok."
Kini Gibran terdiam, dia menunduk dan melihat puntung rokoknya.
"Gue inget sesuatu. Kemarin ada yang bilang ke gue, kalo hubungan kita selesai sama seseorang, itu bukan berarti hidup kita juga selesai. Dan sekarang, orang itu juga yang keliatannya mauu nyelesain hidupnya secara pelan-pelan," sindir Sabrina.
Gibran melihat wajah Sabrina, dia tersenyum. "Gue ga akan ngerokok lagi."
Sabrina ikut tersenyum, "Good boy."
Gibran tersenyum. Entah kenapa saat bersama Sabrina semuanya menjadi lebih tenang. Dan begitupun dengan Sabrina.
Gibran merasa Sabrina sahabat perempuan terbaiknya. Sementara itu Sabrina merasa Gibran kakak laki-laki terbaiknya.
Mungkin karena mereka saling paham perasaan satu sama lain. Luka yang dirasakan Gibran, Sabrina tau betul itu. Begitupun sebaliknya.
'Gue beruntung kenal lo, Gib.'
'Gue beruntung kenal lo, Sab.'
-Tbc-
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secret [Slow Update]
Ficção AdolescenteBegitu sampai di depan rumah Kia. Geo langsung menahan Kia, itu membuat Kia terdiam dan menautkan alisnya heran. "Karena gue punya kartu as lo, dan lo punya kartu as gue. Jadi, kita buat perjanjian, "Jangan pernah bilang ini sama siapapun. Jangan bi...