Waktu

2.2K 144 5
                                    

Kia berbaring diatas ranjangnya. Perkataan orang tuanya tadi pagi terngiang di telinganya.

Gue bahkan belum bisa ngehilangin perasaan gue ke Gibran. Gimana gue bisa tunangan secepet itu?

Kia terus berguling-guling tidak karuan. Sesaat ia terdiam lalu memikirkan hal yang sama. Begitu seterusnya.

Drtt..drtt..

Kia mengambil ponsel yang ada diatas nakasnya. Ia membukanya dan melihat sebuah LINE masuk dari Geo.

Geo : ki, gue mau ngomongin sesuatu. Lo bisa?

Kia menghela nafas, ia tau pasti Geo mau membicarakan tentang pertunangan itu. Orang tuanya pasti sudah bicara.

Kia : jemput gue

Geo : otw

●●

"Udah dong, Ki. Gue gamau tante Karin nyangka gue ngajak lo ribut. Emangnya lo mau dipaksa tunangan biar kita cepet akur?"

Geo terus mengusap-usap kepala Kia, berusaha menenangkan gadis itu. Kia bukannya tenang, dia bahkan semakin kencang. Membuat orang-orang yang melihat ke mobil Geo curiga.

Gue gabikin dia nangis ya tuhan. Kenapa semua orang natap gue sejahat itu? Yatuhan gue ga ngapa-ngapain.

"Gu-gue kira Gi-gibran ga--ga kayak gitu, gu-gue sakit hati, Ge!" ucap Kia masih tersenggal-senggal karena sesegukan.

Geo menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Ia bingung harus bagaimana lagi.

"Mungkin mereka cuman lagi ngobrol doang," ucap Geo yang dirinya sendiri tidak yakin dengan ucapannya.

Ya seengganya mending positive thinking kan? Walaupun beda tipis sama bohongin diri sendiri.

Kia menatap Geo serius, "Lo ya-yakin?"

"Iya, yakin." Timpal Geo serius.

Kalo gue pinocchio, mungkin hidung gue udah jadi sepanjang sungai nil. Bohong mulu idup gue.

"Sa-salah ga sih kalo gue masih ada rasa sama Gibran?"

Pertanyaan Kia barusan membuat Geo bungkam. Ada tatapan berharap dari tatapan Kia. Berharap kalau perasaannya itu tidak salah. Berharap kalau dia masih bisa bersama Gibran dan itu bukan masalah.

Geo tersenyum, "Hm, ga salah kok."

●●

"Woy, lo kenapa sih melamun mulu?" Celetuk Boby yang sudah duduk di samping Geo yang sedang berbaring dikasurnya.

Geo menghela nafas dan bangun. Dia menatap Boby serius, "Bob, bener ga sih kalau cinta perlu pengorbanan?"

Boby terdiam, lalu sedetik kemudian dia tertawa lepas. Bahkan sangat kencang.

"Sumpah lo dangdut banget! Ngakak anjir hahaha."

Mendengar pernyatan Boby tadi, membuat Geo jengkel. Dia segera mengambil bantal dan guling yang ada di kasurnya dan menimpuk Boby sekuat mungkin.

"Ampun, Ge! Sorry sorry!"

Geo menghentikan kegiatannya melihat sodaranya itu hampir saja mati kehabisan nafas.

"Sialan emang lo ya. Kalo bukan sodara, gue laporin ke polisi dengan tuduhan percobaan pembunuhan!" Celetuk Boby.

"Lebay lo," timpal Geo.

Boby kemudian duduk kembali dikasurnya Geo dan terlihat mulai serius.

"Ngomong-ngomong, kenapa lo nanya yang tadi? Ada masalah sama Kia? Dia ... gabisa bales perasaan lo ya?"

Geo menatap sodaranya itu, "Mulut lo minta di cium ya, sama aspal."

"Ih si abang, galak banget sih. Gue kan serius," timpal Boby.

Geo menarik nafas dalam, dia kemudian berbaring dan memejamkan matanya.

"Kayaknya bener kata-kata, kalau cinta ga mesti memiliki. Gue tau kalau disini gue yang suka, sayang, dan cinta sendiri. Sedangkan Kia? Engga, dia ngelakuin ini cuman demi ortunya."

Boby melihat sodaranya iba. Baru kali ini dia melihat Geo sepesimis itu  sesedih itu.

"Jangan gitu dong, Ge. Lo gaboleh pesimis gini. Wajarlah kalau Kia masih suka galauin Gibran. Putusnya kan baru lusa kemarin. Lo pikir move on segampang balikin telapak tangan? Lagian nih ya, ngaku deh, li juga masih suka kebayang Sabrina kan? Semua butuh waktu, Sob."

Geo mendengarkan perkataan Boby seksama. Dia mencerna semuanya.

Bener. Mungkin ini cuman masalah waktu. Jodoh ga kemana kok.

-Tbc-

The Secret [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang