Part 12 - Brother

8.5K 1.1K 49
                                    


"Rein, kamu ikut rapat ya nanti," ucap Dean sang ketua kelas.

"Rapat apa?" Rein yang sedang mengerjakan tugas, mendongak keheranan.

"Rapat pemilihan panitia pekan olahraga antar jurusan. Kamu jadi perwakilan kelas kita bareng sama Chika terus aku juga."

"Ga bisa yang lain aja Dean? Kenapa harus aku sih?" keluh Rein.

"Soalnya kamu yang paling jago olahraga di kelas kita. Bantuin lah, toh kamu ga ikut les macem-macem kan? Punya lebih banyak waktu luang ketimbang kita yang masih harus ikut bimbel sana sini buat nge-booster otak," jelas Dean panjang lebar membuat Rein tak bisa membantah lagi.

Akhirnya Rein mengangguk pasrah. Rein biasanya malas jadi panitia dalam kegiatan manapun. Dia tak pernah suka keramaian. Tapi kalau jadi panitia bersama Chika si wakil ketua kelas, sepertinya tak terlalu menyebalkan.

Rein suka olahraga, terutama voli. Dia bisa menghasilkan smash yang keras setiap turun ke lapangan walaupun dia juga mahir dalam bermain basket.

Tumbuh besar bersama Rasya, Ken dan Zain yang sering berlatih basket membuatnya pintar bermain walaupun dia tak begitu berminat menekuninya. Tak seperti Ken dan Zain yang menjadikan lapangan basket sebagai rumah mereka yang kedua. Main basket baginya hanya untuk gerak tubuh agar tak terlalu kaku dan mengalihkannya dari buku.

Rein, Chika, dan Dean memasuki ruang rapat, dia langsung disapa oleh Travis anak kelas IPA B yang duduk di dekat pintu masuk.

"Rein drop keep falling on my head...." godanya. Dia selalu menyanyikan lagu itu setiap Rein lewat di depannya.

"Hmmm please deh, ganti lagu it's raining man gitu sekali-sekali," sahut Chika sebal sementara Rein hanya tersenyum simpul.

Rein mengedarkan pandangan ke sekeliling, matanya bertabrakan dengan mata Ken yang sudah dia duga pasti akan menjadi panitia juga. Ken ketua kelas dan ketua basket. Aset penting untuk memenangkan piala antar jurusan.

Ken menatapnya sekilas kemudian memalingkan wajah, membuat Rein merasa kesal sekaligus sedih.

Sudah dua minggu ini Ken mengacuhkannya. Rein tak mengerti apakah dia membuat kesalahan terhadapnya atau tidak. Terbiasa menjalani hari dengan ledekan dan pertengkaran kecil baik secara langsung atau melalui chat dengan Ken membuat Rein kelabakan ketika tak ada satu pesanpun dari Ken selama seminggu ini. Ken seperti sengaja menghilang dari hidupnya. Kalau bertemu secara tak sengaja di sekolah pun, Ken melengos seperti menganggapnya tak ada.

Merasa frustrasi, Rein pernah bertanya melalui chat.

'Ken, why you ignore me? Am I done something wrong? I'm so sorry.'

Seberapa sering pun Rein melirik ponselnya, jawaban dari Ken tak pernah muncul. Membuat Rein uring-uringan sepanjang hari. Sampai Angkasa pun bertanya apa yang mengganggu pikiran Rein akhir-akhir ini karena dia terlihat sangat gelisah.

"Kamu kenapa?" tanya Angkasa ketika mengantar Rein pulang.

"Nothing," jawab Rein lesu.

"Aku ga pernah percaya kalau ada cewek ditanya, What's wrong? Dan jawab nothing. Pasti ada yang ganggu pikiran kamu deh."

Rein menghela napas, berat.

"Ken mad at me, and I don't know why," ucapnya sedih mengingat tadi mereka bertiga bertemu di parkiran, Ken hanya menatap ke arahnya dan Angkasa tajam kemudian segera memasuki mobilnya dan tancap gas dengan cepat sebelum Rein sempat membuka mulutnya sekedar untuk menyapa.

Somewhere Only We knowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang