Rein memukul bola voli kencang dan brutal membuat lawan tanding kocar-kacir menahan serangannya."Ampun Reinnnnn... ini kan lagi latihan nahan smash doang! Jangan segitunya sih," keluh Chika yang tangannya memerah seketika saat menerima smash keras dari Rein.
Saat ini kelas Rein sedang mengikuti pelajaran olahraga voli dan Rein diminta guru untuk mengajarkan cara menahan smash ke teman-temannya sementara beliau mengikuti rapat guru.
Rein hanya mendengus, kembali melemparkan bola dan memukulnya dengan kencang ke temannya Ariana yang kurang beruntung berada satu jalur dengan Rein saat dia sedang terbakar emosi tinggi.
Terutama karena dia melihat Ken yang kelasnya berada persis di depan lapangan sedang duduk di bangku luar kelas memperhatikan Rein dengan cermat.
Rein benci pria pembawa masalah itu.
Rein menggeram ketika melihat Ken tersenyum ke arahnya. Dia melambungkan bola kemudian melompat dan memukulnya sekencang mungkin sampai Rendra yang menerima smash kerasnya hampir terjungkal.
"Who Else???" teriak Rein yang malah membuat teman-temannya segera menyingkir dari hadapannya.
Tangan Rein sudah memerah seperti tomat akibat pukulan-pukulannya dan terasa nyut-nyutan karena Rein menggunakan tenaganya secara berlebihan.
Tapi Rein tak mempedulikan rasa sakit di tangannya. Dia murka dan frustrasi. Semua itu karena salah Ken yang sukses besar sudah mengacaukan hidupnya.
Berita tentang pertarungan basket demi memperebutkan Rein tersebar dengan cepat membuat Rein menjadi bahan pembicaraan seisi sekolah dan banyak orang yang kasak-kusuk di belakangnya. Menyebarkan berita miring dan bohong tentang dirinya, mencibir bagaimana dua pria paling keren satu sekolah bisa memperebutkan dirinya.
Bahkan tadi pagi Rein mendengar dari Chika kalau anak kelas 10 bergunjing bahwa Rein sudah tidur dengan keduanya membuat kuping Rein panas dan tangannya gatal ingin menyilet mulut mereka dengan golok.
Chika saat itu ada di toilet dan mendengar mereka membicarakan yang tidak-tidak tentang Rein langsung meninju pintu dan menarik kerah si mulut usil lalu mengancam akan melaporkan ke kepala sekolah kalau berita bohong itu sampai tersebar.
Rein marah, sedih, dan luar biasa kesal. Tak mengerti bagaimana dia bisa terseret di situasi ini. Dia sudah meminta Angkasa untuk membatalkan apapun kesepakatan yang sudah dia buat dengan Ken tapi Angkasa hanya menggeleng dan mengatakan pada Rein untuk tidak perlu khawatir karena dia akan menang.
Rein hanya bisa mendengus sebal. Dari mana datangnya rasa percaya diri Angkasa? Tak sadarkah kalau lawan dia adalah Ken yang sangat berbakat sampai mendapat tawaran untuk jadi atlet selepas SMP tapi Ken menolak karena dia ingin fokus ke pendidikannya agar bisa menjadi dokter bedah jantung handal seperti kakeknya.
Angkasa bersikap sangat tenang dua minggu terakhir ini. Berprilaku seperti tak ada hal yang menghebohkan dan tak peduli akan kasak-kusuk orang.
Dia masih menggengam tangan Rein kemana-mana dan selalu menghabiskan waktu untuk berada di sisi Rein. Walaupun sepulang mengantarkan Rein ke rumah, Angkasa tak pernah lagi mampir untuk mengobrol tapi memilih untuk pergi berlatih basket sampai malam hari. Tapi dia masih rutin menghubungi Rein sebelum tidur hanya untuk mengucapkan selamat malam.
Rein melambungkan bola lagi dan memukul keras. Tiba-tiba ada yang menarik lengannya.
"Enough, Rein!!" seru Ken.
"Hottoite!!!!" (tinggalkan aku sendiri!!) bentak Rein ketika melihat Ken memegangi lengannya.
Ken tak peduli, dia menyeret Rein keluar dari lapangan menuju ruang basket. Ken mengeluarkan kunci dari sakunya, membuka pintu, dan mendorong Rein masuk kemudian menutup pintu lalu menguncinya lagi.
Ken memasukkan kunci ke saku lalu mulai mencari-cari sesuatu.
Dia berbalik menghadap Rein, menarik tangannya dan menyemprotkan pain releiving spray ke kedua tangan Rein yang memerah.
"Just leave it!" bentak Rein.
"Not a chance," jawab Ken, kalem dan setelahnya mulai memijit tangan Rein perlahan.
"Buka pintunya, Ken, aku mau keluar."
"Tidak sampai tangan kamu normal kembali."
Rein mendengus tapi tidak mengatakan apa-apa lagi. Sadar kalau tak ada gunanya berdebat dengan Ken yang malah akan membuat Rein semakin marah dan ingin mencabik-cabiknya menjadi beberapa bagian.
"Kamu harusnya ga berlatih seperti tadi. Kamu bisa cedera parah kalau terus seperti itu," tegur Ken.
"None of your business!" sahut Rein, ketus.
"You are my business!" balas Ken menatap Rein tajam.
Rein memelototi Ken kemudian menghela napasnya kesal. Memalingkan wajah tak bersedia menatap Ken yang memandangnya dengan sorot mata sedih.
"It's nice to hear your voice again, Rein, I miss you...." ucap Ken pelan membuat amarah Rein naik lagi ke kepalanya. Dia memang sengaja tak bicara sama sekali dengan Ken setelah peristiwa menyebalkan itu walau Ken mencoba menghubunginya berkali-kali.
"How come you put me into this trouble?" bentak Rein.
"Hey, pacarmu yang membuat taruhan, aku kan hanya menanggapi," sahut Ken membela diri.
"Kalau saja kamu ga nyimpan perasaan yang salah ke aku, ini semua ga harus terjadi. Memangnya kamu ga denger gosip konyol soal kita? Terutama soal aku? Bahkan ada yang menuduh kita udah tidur bareng, Ken!"
"Ya bener kan? Berhubung kita kenal dari kecil, kadang kita tidur sekamar bareng. Bahkan kita pernah mandi bareng waktu bayi," jawab Ken, kalem.
Rein tak tahan untuk tak menjitak kepala ken. Dia mengulurkan tangannya dan menjitak kepala Ken dengan sepenuh hati membuat Ken mengaduh kesakitan.
"It is all your fault! Kamu pasti sengaja untuk bikin kacau hidup aku. Congratulation, you made it!" tuding Rein berapi-api.
"I didn't plan any of this to happen, Rein," sahut Ken tajam, wajahnya memerah menahan marah atas tudingan Rein.
"Kamu pikir aku ga pernah coba untuk menekan perasaan aku ke kamu? Ga pernah berpikir kalau ini salah karena kita sudah seperti keluarga? I'm trying, Rein! I'm trying so hard untuk tidak merindukan kamu ketika kita hanya bisa bertemu setahun dua kali. Aku mencoba sekuat yang aku bisa untuk mengalihkan pikiranku dari kamu, mencoba untuk tidak memikirkan kamu di setiap detiknya sampai aku menyerah, lelah, dan tak sanggup lagi untuk menahan semuanya!
"I'm trying to forget you but I can't. I can't, because it's you... it's you, Rein! You are the one that gave me fear most. But, you are the one that I wanted more than anything in this world."
Rein terdiam mendengar pengakuan Ken. Mencoba memahami rasa frustrasinya. Dia tak bisa menyalahkan Ken untuk perasaan terlarang yang datang tanpa diundang. Tak bisa menyalahkan jalannya takdir yang mengikat mereka berdua dengan cara yang aneh. Bukan keluarga yang sesungguhnya tetapi seperti keluarga kandung. Mungkin kalau mereka hanya dua orang biasa yang bertemu tak sengaja di suatu tempat dan berkenalan, akan jauh lebih mudah bagi mereka berdua karena tak perlu ada keraguan di antara mereka.
Tangan Rein terulur menyentuh pipi Ken. "Ken, I'm sorry... but I love Angkasa. Maaf aku tak bisa membalas perasaanmu," bisik Rein lirih.
"Don't be sorry for making me love you, Rein. Aku bersyukur karena memiliki perasaan itu di hatiku. Sadarkah kamu, kalau kamu itu terlalu mudah untuk dicintai?"
Rein tersenyum kecil dan menggeleng.
Ken menoyor kepalanya. "Kamu membuat dua pria mati-matian mendapatkan hatimu... bangga lah sedikit...." ledek Ken.
"Kalian berdua menyebalkan!" gerutu Rein.
Ken menggengam tangan Rein erat. "Tunggulah... aku tak akan mengalah begitu saja. Aku pasti bisa membuatmu jatuh cinta padaku."
-----------
Luv,
NengUtie
KAMU SEDANG MEMBACA
Somewhere Only We know
Fiksi RemajaWhen your some kind of Brother fall in love with you, now you are in a serious trouble!!! ketika Rein menyadari kalau Ken si playboy, anak dari sahabat baik orangtuanya, yang tumbuh dan besar bersama sebagai musuh besar menyatakan kalau dia mencinta...