DUA PULUH DELAPAN

199K 13.9K 564
                                    

"Jackie..." gumam Max, yang baru saja pulang dengannya sekarang tertidur di gendongannya. Jacqueline menggendong Max menuju kamarnya, dan menepuk – nepuk punggung Max hingga anak itu tertidur kembali.

"Kita sudah pulang Max," Jacqueline menidurkan Max ke ranjangnya dan menarik selimut Max sebelum meninggalkan kamar Max.

Jacqueline merasa lelah dan menguap ketika membuka pintu dan berjalan menuju kamar yang Rachel katakan kepadanya untuk ia gunakan. Ia masih ingat kata – kata Rachel kepadanya hari itu, "Pilih satu kamar Jacqueline, hanya Tuhan yang tahu kenapa Warren dan Catherine membangun rumah yang sangat besar seperti ini dan hanya menempati dua kamar bagi mereka dan Max."

Rachel Tjahrir adalah wanita yang sangat bijaksana pikir Jacqueline, lalu ia tersenyum karena mengingat kata – kata selanjutnya yang dikatakan Rachel kepadanya ketika dirinya tidak yakin untuk menempati kamar manapun di rumah Warren dan Catherine ini, Rachel berkata, "Kalau Warren marah hanya karena hal ini, kamu bisa meneleponku Jacqueline, kapanpun itu. Warren seperti anak kecil saja kelakuannya. Max saja tidak pernah seperti ini. Anaknya lebih dewasa daripada dirinya, benar – benar Warren ini."

Jacqueline membuka pintu kamar yang ia tempati selama seminggu terakhir ini. Kamar tersebut terletak dua kamar jauhnya dari kamar Max, dan ketika ia membukanya, Jacqueline menyukainya. Jacqueline menyukai nuansa biru muda diseluruh ruangan tersebut, dan segalanya dalam kamar yang sekarang ia tinggali, membuatnya tenang dan merasa aman.

Ketika ia memasuki ruangan, Jacqueline sudah menjadi terlalu lelah untuk menyalakan lampu atau melakukan apapun lagi sehingga ia berjalan di dalam kegelapan, lalu ketika ia merasa dirinya sudah menemukan ranjang Jacqueline menjatuhkan dirinya dan menarik selimut dengan cepat.

Tidur.

Ia memerlukan tidur.

...

...

Jacqueline tidak tahu berapa lama ia tertidur sampai ia merasakan tubuhnya tertindih dengan tubuh lain yang ia tidak kenali. Ketika ia membalikkan badannya, Jacqueline berusaha untuk melihat di dalam kegelapan walaupun matanya sama sekali tidak dapat memandang apapun.

"Max?" Jacqueline hanya dapat berpikir kalau yang sekarang berada di ranjang bersamanya adalah Max, namun ia tahu kalau yang sekarang menindih badannya bukanlah anak kecil berumur empat tahun, namun seorang pria dewasa yang sama sekali ia tidak kenal.

Jacqueline berusaha untuk bangun dari ranjang namun ia kembali tertindih dengan paha pria itu yang sekarang memeluknya seakan – akan dirinya adalah guling. Pikiran Jacqueline berusaha untuk mencerna apa yang sedang terjadi, lalu ia bertanya dengan sangat pelan dan takut, "Adian?"

Rasa takut itu merayap dan membuat Jacqueline merinding, "Adian...?" nama pria itu membuat bibirnya merasa kelu dan semuanya menjadi lebih gelap daripada kamar tidur tersebut.

Bagaimana bisa Adian masuk ke dalam rumah ini? Tanya Jacqueline kepada dirinya sendiri.

"Adian?"

"Jack?" kali ini Jacqueline terkejut karena suara pria itu berbeda. Bukan, bukan Adian.

"Pak Warren?" Jacqueline mengerutkan dahinya dan bingung ketika ia mendengar suara bos-nya.

"Jack?" tanya pria itu sekali lagi seakan – akan ia tidak percaya dengan apa yang terjadi dan apa yang sedang mereka lakukan.

"Apa yang anda lakukan disini Pak Warren?" Jacqueline menarik dirinya mundur dan sekarang Jacqueline sudah berdiri di sisi ranjang. Jacqueline menyalakan lampu console terdekat dari ranjang lalu menyadari kalau Warren juga sudah berdiri dari atas ranjang.

"Dua pertanyaan Jack, siapa Adian dan apa yang kamu lakukan di kamar saya?" 

EAT, METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang