Satu minggu kemudian...
Satu minggu Jacqueline sudah meninggalkan rumah Warren, namun setiap hari Max akan meminta Rara untuk meneleponnya dan pada akhirnya Jacqueline akan berkunjung membuat Max tenang dan menemaninya hingga tidur. Jacqueline akan memastikan dirinya tidak akan bertemu dengan Warren dengan mengikuti agenda pria itu yang sudah ia ingat.
Sudah satu minggu juga Jacqueline tidak kembali bekerja untuk Warren dan ia meninggalkan pekerjaannya hanya karena ia merasa sangat kesal terhadap sikap pria itu yang seenaknya ingin menikahinya lalu menceraikannya – seakan – akan dirinya bukan manusia...
Cukup satu pria saja yang memperlakukannya seperti itu...
Jacqueline masih memerlukan uang untuk sekolahnya dan biaya hidupnya, adiknya dan ibunya, dan sekarang ia harus memikirkan bagaimana caranya ia mendapatkan pekerjaan baru. Sialan, ini semua salah bosnya itu.
Besok ia berjanji kepada dirinya sendiri untuk mulai melamar ke beberapa perusahaan dan hari ini ia akan memperbaiki resume-nya. Ia tidak akan lagi mengunjungi Max dan ia tidak akan menghabiskan waktu lagi mengurusi urusan pribadi Warren Tjahrir.
Jacqueline membersihkan remah – remah roti di mejanya dan berjalan menuju dapur, lalu menaruh piring kotornya di tempat cuci piring. Jacqueline lalu meringis kesakitan karena bahunya terasa begitu sakit... luka baru...
"Sial..." gumam Jacqueline. Jacqueline meraih bahunya dengan tangan satunya lagi dan mulai memijatnya untuk meredakan rasa sakitnya. Kalau pria itu tidak menghantamnya ke dinding kemarin malam, mungkin tidak akan seperti ini bahunya...
Lalu Jacqueline mendengar bel pintunya berbunyi. Rasa takutnya kembali merayap ke dalam dadanya dan ia tidak bisa bernapas. Adian? Terlalu pagi bagi pria itu untuk datang... Tidak mungkin. Walaupun sekarang sudah sore, ia tahu Adian tidak mungkin datang pada jam segini.
Jacqueline berjalan dengan begitu pelan menuju pintu dan membukanya, Jacqueline terkejut ketika mendapati Warren dan Max berdiri di depan pintu apartemennya. "Um, Bapak tidak salah alamat?" tanyanya dengan bingung.
Warren tidak menjawabnya dan Max menghambur ke pelukannya, "Jackie, hari ini aku ke kantor daddy dengan Rara, lalu aku meminta daddy alamatmu. Kamu tidak datang ke rumah hari ini Jackie..."
"Max, tapi aku sudah bilang kalau..."
"Jackie, tapi sepertinya aku demam," lalu Max mengarahkan tangannya ke dahi kecilnya dan Jacqueline merasakan panas di dahi anak itu.
"Kamu memang demam, kamu tidak meminta daddy ke dokter?" ketika Jacqueline menanyakan hal itu, Jacqueline bertanya kepada Warren dan menatap Warern.
Namun ketika kali ini Jacqueline menatap Warren, ia menatap wajah pucat Warren yang menatapnya kembali. Tidak ada tatapan marah yang selalu dilayangkan kepada dirinya, namun ia hanya menatap wajah pucat dihadapannya.
"Bapak juga sakit?" Jacqueline mengerutkan dahinya.
Warren terbatuk dan dengan suara parau ia berkata, "Saya tidak tahu bagaimana caranya mengatakan ini, tapi Jack, saya perlu kamu menjaga Max selama saya... um... sakit."
Dengan bingung Jacqueline membalas Warren, "Bukannya anda memiliki banyak sekali pelayan di rumah? Keluarga anda, bukannya juga bisa membantu anda? Kenapa saya Pak Warren? Terakhir kali kita bertemu anda mengusir..."
Sebelum Jacqueline menyelesaikan kata – katanya tubuh Warren sudah jatuh kedepannya membuat Jacqueline dengan susah payah menahan tubuh pria itu yang sangat berat. "Pak Warren?!"
Jacqueline begitu terkejut ia tidak menyadari Max berada disampingnya, "Jackie, is daddy going to be alright?"
"Max, tolong aku, bukakan pintunya," Jacqueline meminta Max untuk membuka pintu apartemennya dan Jacqueline setengah menyeret tubuh Warren ke sofa ruang tamunya.
"Pak Warren?" tanyanya sekali lagi, namun ia hanya dapat merasakan napas panas pria itu di lehernya, lalu ia menjatuhkan tubuh Warren ke sofa dengan segenap tenaganya. Sialan, bahuku.
"Max," lalu Jacqueline menyadari Max yang masih berdiri di depan pintu. "Max, kamu dan daddy sakit, apa kamu tahu nama dokter keluarga kalian?"
"I don't know Jackie, kepalaku pusing," Max mulai menangis dan Jacqueline menggendongnya, lalu menutup pintu dibelakangnya.
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan...
Sejak kapan ia harus merawat dua laki – laki yang sakit?
.
KAMU SEDANG MEMBACA
EAT, ME
RomanceThis work is protected under the copyright laws of the Republic of Indonesia (Undang - Undang Hak Cipta Republik Indonesia no. 19 tahun 2002). Any reproduction or other unauthorised use of the written work or artwork herein is prohibited without the...