ENAM PULUH ENAM

166K 16.3K 2.9K
                                    

"Ada apa ini?" tanya Rachel Tjahrir ketika ia menatap anaknya dan Catherine yang terlihat panik dan cemas. Rachel diundang oleh Warren untuk ikut makan malam, namun ketika ia sampai ke meja tempat Warren dan Catherine sedang berada, ia mengetahui ada yang salah namun Rachel tidak bisa menebaknya.

"Kita harus pergi sekarang Ma," jawab Warren yang tiba – tiba berdiri dari tempat duduknya, dan Catherine mengikuti detik kemudian. Rachel mengerutkan dahinya dan dengan terlihat santai membalas Warren, "Kamu panik, Mama sama sekali tidak panik, ada apa Warren? Jelaskan kepada Mama sehingga aku tahu apa yang sedang terjadi."

"Max sekarang ada di apartemen Jacqueline, Ma," bukan Warren yang menjawab namun Catherine-lah yang menjawab pertanyaan Rachel. Rachel menaikkan sebelah alisnya dan menatap Catherine dengan penuh pertanyaan.

"Terus?" tanya Rachel tidak melihat masalah dari semua itu. "Kalau Max berada bersama Jacqueline, apa aku harus sepanik kalian?"

"Ma, it's Jacqueline that I'm talking about," jawab Warren dengan keras.

"Ya, kita sedang membicarakan Jacqueline yang sama Warren, ada apa dengan Jacqueline? Apa Max berada dalam bahaya kalau Jacqueline bersamanya?"

"Ya!" kali ini Catherine yang menjawab pertanyaannya lagi, membuat Rachel semakin bingung dengan apa yang sebenarnya dipermasalahkan.

"Ma, Max tidak bilang kalau dia pergi ke apartemen Jacqueline, itu masalahnya," jelas Warren.

"So? Aku tidak melihat ini adalah masalah Warren. Kalau Max pergi ke apartemen Jacqueline, bukannya tidak apa – apa? Sekarang, coba Mama balikkan saja masalahnya, Jacqueline istri kamu bukan? Secara tidak langsung Jacqueline adalah ibu tiri Max?"

"Ma, tidak bisa begitu," Catherine yang membalas Rachel.

"Tidak bisa begitu?" potong Rachel kepada Catherine, "Kalau begitu sebaiknya kamu pikirkan baik – baik apa yang telah kamu lakukan Catherine. Max tidak akan ke apartemen Jacqueline kalau kamu tidak meninggalkannya."

*

"Jackie, aku lelah... please open the door, kamu tidak menyayangiku lagi?" suara Max terdengar semakin pelan dan Jacqueline masih menahan nangisnya di balik pintu yang sama sekali ia tidak buka.

Pergi saja Max, ingin sekali Jacqueline meneriakkan kata – kata itu namun ia kembali mengurungkan niatnya. Jacqueline merasa seluruh tubuhnya bergemetar dan berkeringat karena demamnya yang semakin parah, air matanya sudah berhenti mengalir dan matanya semakin memerah karenanya.

"Jackie, aku lapar, kita tidak bisa membeli ice-cream sekarang?" tanya Max lagi. Ia tahu kalau Max sudah pasti lelah, namun ia juga tahu Max adalah seorang anak empat tahun yang tidak akan berhenti melakukan apapun sampai ia mendapatkan apa yang ia inginkan.

"..." Jacqueline tidak menjawab.

"Jackie, aku tahu kamu ada di dalam sana..." bisik Max kembali, suaranya semakin mengecil dan setengah hati Jacqueline berharap Max akan segera pergi, namun ia takut ketika Max pergi, semua harapannya hilang.

"..."

"Jackie, kamu tahu kenapa aku menyayangimu?" tanya Max kepadanya yang tidak kunjung menjawab.

"Karena kamu tidak sama dengan Mommy," Max menjawab pertanyaannya sendiri dan Jacqueline tercengang mendengar kata – kata dari anak berumur empat tahun yang sekarang tengah duduk di depan pintunya selama hampir dua jam.

EAT, METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang