Teman Sebangku

30.1K 3.8K 590
                                    

Mataku menatap laki-laki di sampingku dengan berbagai spekulasi di otak kanan dan kiri. Mungkin aku sudah gila karena mengabaikan Pak Jung yang sedang asik menjelaskan permutasi di depan kelas, tapi biarlah. Rasa heranku lebih penting sekarang.

Spekulasi pertama; kini aku sadar, arti kata teman sebangku memang tidak seindah ekspetasi. Kata 'teman' disini tidak mengarah pada arti teman yang sebenarnya.

Teman sebangku hanyalah dua kata yang menggambarkan situasi dimana dua orang duduk bersebelahan di dalam kelas yg sama. Itu saja.

Itu saja? Ya itu saja. Dulu, saat aku masih duduk di kelas sepuluh dan sebelas, teman sebangkuku adalah temanku dalam arti yang sesungguhnya. Kita ke kantin bersama, belajar bersama bahkan sering pulang bersama. Yah, itu dulu.

Lalu bagaimana dengan teman sebangkuku di kelas dua belas? Oh, jangan ditanya. Aku akan sangat bahagia jika diberi kesempatan duduk sendiri di pojokan kelas daripada duduk bersama manusia setengah patung. Aku serius.

Spekulasi kedua; jadi teman sebangku Jeon Wonwoo tidak se-wow atau seindah katanya.

"Wonwoo itu pangeran sekolah! Jangankan sebangku, bisa jadi teman sekelasnya saja sudah anugerah," katanya.

"Yakin tahan jadi teman sebangku Wonwoo? Suara beratnya bisa buat otak kacau," katanya.

"Dia ranking satu paralel tahu! Baik-baiklah padanya, siapa tahu dapat bantuan," katanya.

Ah, terlalu banyak katanya. Intinya semua katanya itu tidak ada satupun yang benar.

Anggaplah dia memang tampan. Tapi ayolah, dia itu manusia setengah patung! Setampan-tampannya patung, memang kalian mau?

Dan lagi, suara beratnya. Oh god, dari mana mereka tahu perihal suara Wonwoo yang berat kalau dia saja pelit bicara? Mereka mengada-ada.

Yang terakh--

"Yang di belakang, maju kerjakan soal!"

Ups, aku refleks mengalihkan pandanganku dari Wonwoo. Benar saja, semua mata--termasuk teman sebangkuku--langsung tertuju padaku. Oh, cobaan apa lagi ini?

"Saya, Pak?"

"Iya lah, masa Wonwoo! Maju kerjakan soal ini."

Shit! Aku berdecak kesal. Aku yakin kalau aku bukanlah satu-satunya murid yang gagal paham dengan matematika dan sekutunya itu. Tapi kenapa harus aku?

Biar kujelaskan. Wonwoo memang pintar. Mendekati jenius malah. Tapi... sudahlah. Dia pasti berlagak buta dan tuli sekarang.

Aku mencolek punggung Seungkwan yang duduk di depanku, berharap kode keras yang kusampaikan tertangkap otak kecilnya.

"Na, sumpah aku nggak ngerti."

Oh oke, mungkin salahku minta bantuan pada orang yang sebelas-duabelas denganku. Siapa lagi ya?

"Jun!" bisikku yang kelewat keras. Laki-laki hidung mancung itu menatapku. "Bantuin dong."

"Kenapa jauh-jauh, kan ada Wonwoo."

Oh, mungkin salahku juga minta bantuan pada Jun yang kelewat malas bergerak. Padahal dia duduk di depan Seungkwan. Tuhan!

"Ayo maju! Kenapa? Tidak bisa menjawab?"

Uh, dasar pria botak! Tanyakan saja pada seisi kelas. Aku yakin hanya Jun dan Wonwoo yang menjawab 'bisa'.

"Say--"

Puk!

Aku menatap tanganku yang sedari tadi bersembunyi di bawah meja tak percaya. Setelah kejadian singkat itu, sebuah kertas berhasil mendarat dengan indah di telapak tanganku.

Tunggu, ini seperti tidak asing. Aku selalu memakainya saat ujian. Contekan?

Aku sontak menatapnya. Dia menaikkan salah satu alisnya dan berkata tunggu-apalagi-cepat-maju melalui matanya.

God! Ternyata Wonwoo tidak pura-pura tuli apalagi buta. Dengan langkah penuh percaya diri aku maju ke depan kelas.

Pak Jung menatapku yang sedang serius menyalin jawaban Wonwoo ke papan tulis. Terima kasih lagi pada tangan besarku yang mampu menyembunyikan kertas kecil ini sepenuhnya dari mata Pak Jung. Haha!

"Hm, kau boleh duduk."

Aku hampir terkikik pelan melihat wajah Pak Jung. Kepintaran akan kalah dengan keberuntungan, Pak. Percayalah.

Dan Pak Jung kembali menerangkan masalah permutasi gila itu dengan suara menggelegarnya. Yah, gara-gara insiden barusan aku jadi malas berspekulasi lagi tentang Wonwoo. Sudahlah, lupakan dia.

"Belajarlah, kau kelewat bodoh."

Suara itu merasuki gendang telingaku. Tunggu? Siapa yang bilang? Seungkwan? Eih, mana mungkin. Suaranya kan melengking bak panci jatuh dari ketinggian.

Kepalaku sontak menoleh ke sisi kiri. Aku tidak salah dengar kan? Itu tadi Wonwoo?

"Kau bicara denganku?"

"Menurutmu?"

Sial, itu benar-benar dia. Wow, dipikir-pikir tadi adalah kalimat terpanjang yang pernah dia lontarkan padaku. Eh, tunggu.

"Kau bilang apa? Bodoh?"

"Hm. Kepintaran seorang anak menurun dari Ibunya. Belajarlah sebelum anakmu nanti ikut-ikutan bodoh."

Aku tertohok. Hei hei hei, sejak kapan dia cerewet seperti Seungkwan? Gila, aku lebih memilih Wonwoo si manusia setengah patung daripada Wonwoo yang sekarang kulihat.

Ucapannya itu loh!

"Lalu apa urusannya denganmu? Memang anakku itu anakmu apa?!"

"Bisa jadi."

Dia menjawabnya dengan kalem, lebih kalem dari Myungho saat bicara dengan para guru.

"Apa maksudmu?" tanyaku pelan, lebih pelan dari suara rumput yang bergoyang.

Wonwoo mengambil sebuah buku kumpulan puisi dari laci mejanya lalu membuka halaman yang telah ia batasi.

Tanganku hampir meraih ponsel sebelum dia kembali mengeluarkan suara yang sangat lembut, lebih lembut dari bulu kucing milik Seungkwan.

"Maksudku, aku akan jadi Ayah dari anakmu kelak. Jadi belajarlah, agar anakku tidak bodoh seperti Ibunya."

Ghad.

Dan otakku kacau.

***

Dan otak saya beneran kacau😂😂maafkeun kalau diluar ekspetasi, sayapun merasa kalau ini diluar ekspetasi /apalah/

maaf ye kalo geli, karena sayapun merasakan hal yg sama bhaaq. Terakhir vomentnya jgn lupa yaa kawan2kuu~~~~

Wonwoo AsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang