Before - 2

475 15 0
                                    

aku bersandar pada sofa di ruang keluarga, membaca buku yang ayahku berikan padaku disaat ulang tahunku yang ke-lima belas, tahun lalu. sudah kali ke enam aku membacanya. halamannya pun terlihat sangat kusam akibat kubolak-balik berkali-kali. cerita sederhana yang menceritakan antara dua dunia yang saling bermusuhan. peperangan tiada akhir yang terjadi antara dua dunia yang berbeda, dua dunia yang sudah tua. 

suara dentuman senapanpun melewati telingaku. aku segera bangkit dan melihat apa yang terjadi diluar sana, diluar jendela rumahku yang nyaman dan aman. sekelompok manusia yang sebelumnya tidak pernah kulihat, mengangkat senjata mereka yang terlihat sangat asing dimataku. senjata berbentuk seperti senapan dengan mata pedang disisi bawahnya. mungkin mereka sedang latihan militer. aku kembali duduk di sofa dan mengangkat buku itu kepangkuanku sampai akhirnya aku menyadari, bahwa itu bukan latihan militer. desingan peluru memasuki telingaku, aku segera merunduk didepan sofa, mereka menembaki rumahku dan melemparkan pisau-pisau mereka kedalam rumahku melalui kaca-kaca yang telah mereka pecahkan dengan peluru. air mataku menggenang, kerongkonganku tercekat, aku tidak bisa membuat suara sedikitpun. aku merangkak kebawah sofa, berharap sofa itu dapat melindungi dari pisau-pisau dan peluru-peluru yang berterbangan kedalam rumahku.

salah satu dari orang-orang itu masuk kedalam rumahku dan mengatakan bahwa rumah ini kosong. tubuhku gemetar dibawah sofa tempatku berlindung, telapak tanganku menutupi mulutku, berusaha membungkam suara meringkik dari mulutku akibat menahan tangis. orang-orang itu pergi meninggalkan rumahku, mereka mengambil buah-buahan di meja makan. mereka seperti orang kelaparan.

keadaan terasa aman, aku merangkak keluar dari bawah sofa dan melihat sekeliling rumahku yang benar-benar hancur. bagian dalam rumahku menjadi berlubang dan berpisau, bukan sesuatu yang wajar. ini pasti perang. perang yang diceritakan didalam buku yang ayah berikan kepadaku. aku berlari segera mengambil baret yang ayah berikan padaku, mantel kesayanganku dan syal rajutan yang sangat tebal yang ibu buatkan untukku. tanganku gemetar ketika memakai sepatu boot kulitku. aku tahu aku sangat panik sekarang. aku menarik nafas panjang seperti yang ayah ajarkan padaku untuk tidak panik, dan aku menghirup dalam-dalam udara dan merapatkan tanganku keketiakku.

aku berlari melalui halaman belakang rumahku dan menyusuri jalan yang ramai sekaligus sepi oleh penduduk. rumah aman di pusat kota, mereka semua yang masih hidup akan pergi kesana setelah mendengar pengumuman dari tower kota, seperti yang kubaca pada buku yang ayah berikan padaku. aku yakin itu.

The StebuklasWhere stories live. Discover now