Kumpulan awan berarak seakan mengiringi langkah gemetar seorang Ismaya Hariani. Ketukan cepat antara sepatu dengan kerasnya trotoar jalan kian lama kian terdengar menyedihkan di telinganya sendiri. Ia berlari - atau mungkin lebih tepatnya menyeret kakinya sendiri - menembus padatnya trotoar jalan yang dipenuhi dengan pejalan kaki yang sibuk dengan pikiran dan dunianya masing-masing.
Pikiran Ismaya sedari tadi sudah melayang tinggi, seakan enggan untuk menemani raganya yang masih terus berupaya menembus kerumunan orang secepat yang ia bisa. Ismaya menunduk, mendapati lutut dan pergelangan kakinya yang mulai membiru dan terasa nyeri.
Melihat itu, seketika langkahnya terhenti. Ismaya menengadah hanya untuk mendapatkan kekuatan untuk melanjutkan langkahnya menuju restoran tempatnya bekerja. Birunya langit seolah membuat pikiran Ismaya melayang mengingat rentetan peristiwa yang semakin membuatnya yakin bahwa kehidupan memang tidak pernah berpihak padanya.
***
Beberapa saat yang lalu.
Ismaya sedang mencuci peralatan memasak yang telah digunakan oleh Chef Ian, bosnya, ketika suara Pak Manajer begitu jelas terdengar sedang meneriakkan namanya berulang kali dan selalu dengan nada yang sama.
"Ismaya! Kemari sekarang! Tidak dengar saya memanggil kamu?"
"Maaf pak. Tadi saya sedang mencuci di dapur." Ismaya menunduk, menolak untuk bertatapan dengan Pak Manajer yang selalu memperlakukan dan memandang dirinya bak budak yang tidak berharga.
"Sekarang juga kamu antarkan pesanan pelanggan. Alamat dan barangnya sudah ada di depan. Chris sedang tidak enak badan sekarang jadi kamu yang gantikan tugas dia!" bentak Pak Manajer lagi, kali ini tepat di muka Ismaya yang seketika menegakkan kepalanya tidak terima.
"Tapi itu kan bukan tugas saya pak. Lagipula Chef Ian pasti membutuhkan saya di dapur."
"Sudah jangan banyak alasan. Sekarang juga kamu antarkan pesanan, atau kamu mau gajimu dipotong hm?" kata Pak Manajer sambil menyeringai, tahu kalau Ismaya tidak akan bisa menghindar apabila sudah diancam seperti ini.
"Ta-Tapi pak.."
"Cepat antarkan, Ismaya!"
Pak Manajer kemudian berlalu sebelum sempat mendengar bantahan Ismaya lagi. Sementara itu, Ismaya masih tergugu di tempatnya, termenung dengan kerutan di dahinya. Bagaimana ini? Pikirnya. Mungkin bagi karyawan lain, akan sangat mudah untuk mengabulkan keinginan Pak Manajer, apalagi ditambah dengan ancaman potongan gaji. Namun tidak bagi Ismaya.
Sejujurnya, ia tidak begitu pandai mengendarai sepeda motor. Ia hanya berlatih beberapa kali ditemani Aldrich, namun itu juga tidak sampai di tahap dimana ia lancar membawanya.
Ismaya berpikir sejenak, memikirkan opsi lain untuk menghindar dari kewajiban ini. Masalah klise memang, namun akan menjadi sebuah dilema bila benar-benar terjadi di kehidupan nyata.
Akhirnya, disinilah Ismaya, menaiki motor bebek dengan kotak besar menempel di bagian belakangnya, seperti ingin menguji keberanian Ismaya yang hanya tersisa sedikit. Setelah menarik dan menghembuskan nafasnya berulang kali, akhirnya Ismaya mulai menghidupkan dan mengendarai sepeda motor itu menuju rumah pelanggannya.
Sekarang Ismaya sudah berada di sebuah taman dengan sekaleng minuman dingin di tangan. Kakinya berselonjor, menikmati waktu istirahat yang ia tahu tidak akan lama. Tangannya yang bebas ia gunakan untuk menyeka peluh yang membanjiri dahinya setelah terbebas dari ketakutan dan kegugupan akibat memaksakan dirinya sendiri untuk mengendari motor yang bahkan belum lancar ia bawa.
Ismaya menghela nafasnya, sungguh dua puluh menit yang menyiksa. Memang seperti inilah dirinya, rasa takut dan rendah diri selalu menguasai kehidupan pahit yang seolah dirancang untuk terus menyerang Ismaya hingga titik terlemah.
Di sela-sela waktu istirahatnya, ponsel Ismaya berdering. Ketika tahu siapa yang menghubunginya, Ismaya mengumpulkan sisa-sisa keberanian dan kesabarannya ketika dengan satu gerakan ia menekan tombol hijau.
"Ya, pak?"
"Ismaya, kemana saja kamu? Chef Ian membutuhkan kamu disini sekarang!" bentak Pak Manajer dari seberang sana.
Kontan saja Ismaya menjauhkan ponselnya dari telinga untuk sesaat ketika mendengar satu bentakan dari Pak Manajer. Dahinya berkerut heran, bukankah dia yang menyuruhku mengantarkan pesanan? Batinnya.
"Saya habis mengantarkan pesanan pak, bukankah bapak yang menyuruh saya tadi?" akhirnya ia mengeluarkan juga isi kepalanya.
"Iya, itu saya juga tahu. Yang saya bingung, kemana saja kamu sampai selama ini? Cepat kembali dan lakukan apa yang seharusnya kamu lakukan sekarang!" elak Pak Manajer.
"Baik pak." Tak ingin berlama-lama berbicara dengan Pak Manajer, ia segera menutup teleponnya dan kembali mengela nafasnya entah untuk yang keberapa kalinya hari ini.
Ismaya menengadah, memejamkan matanya untuk sejenak. Kebiasannya ketika hal buruk sedang terjadi. Ia lalu berpikir cara terbaik untuk sampai ke dapur Chef Ian secepatnya dengan motor yang oleng setiap ia membelokkan atau mencengkram stirnya kuat-kuat. Namun kali ini Ismaya tidak punya banyak waktu untuk merenungkan nasib buruk yang menimpanya, ia harus segera kembali.
Dalam perjalanan pulang Ismaya sangat bersyukur - sesuatu yang jarang dilakukannya - karena jalanan Jakarta yang biasanya butuh usaha ekstra untuk melewatinya, kali ini terlihat lengang. Ia kemudian melajukan motornya sedikit lebih cepat, tanpa menyadari keberadaan mobil yang tiba-tiba menyenggolnya dari samping.
Ismaya terduduk di aspal, nyaris menangis karena sekarang kakinya tertimpa oleh motor yang ia bawa. Sakit, adalah hal pertama yang dirasakan tubuhnya. Beberapa orang dapat ia lihat menyaksikan kejadian itu, sementara pengemudi mobil telah hilang melarikan diri. Setelah mendapatkan pertolongan seadanya, Ismaya bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan seperti mencoba sesuatu yang ia tahu tidak akan bisa ia lakukan, setidaknya tidak di kehidupan ini.
***
Ismaya kini terjatuh di depan restoran tempatnya bekerja, tak mampu lagi menahan berat badannya sendiri dengan kaki yang bergemetar hebat. Keadaannya saat ini jauh dari kata baik-baik saja. Kaki dan seluruh badannya terasa nyeri, belum lagi tenaga serta mentalnya yang terkuras habis.
Kecelakaan yang dialaminya menghabiskan seluruh energi yang ia punya, maka sekarang disinilah ia, jatuh dengan posisi kaki dilipat untuk menopang kepala dan lipatan tangannya. Menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life
RomanceHidup seorang wanita di umurnya yang sudah menginjak seperempat abad sejatinya penuh dengan kebahagiaan akan rencana-rencana masa depan untuk membuka lembaran baru. Tapi tampaknya kebahagiaan adalah satu kata besar bagi seorang Ismaya Hariani. Fakta...