"Jangan bercanda."
"Apa aku terlihat seperti sedang bercanda Ay?" tanya Aldrich yang kemudian memandang Ismaya melalui spion depan mobil. Meski hanya sekilas tetapi Ismaya dapat melihat raut keseriusan di wajah sahabatnya itu.
"Aku dan Serena sudah sepakat. Kamu akan tinggal di rumahku nanti. Tapi tentu saja tidak sekamar denganku dan Serena," senyum jenaka menghiasi wajah Aldrich sekarang. Ia akan sangat senang apabila Ismaya setuju untuk tinggal dengannya.
"Aku tidak tahu Ald."
"Aku mengerti. Pikirkanlah dahulu. Tapi berikan jawabannya pada hari pernikahanku Ay. Aku akan mengurus kepindahanmu setelah itu."
***
Sesampainya di flatnya, Ismaya seperti kehilangan arah. Pilihan yang ditawarkan Aldrich sungguh membuatnya bimbang. Di satu sisi, Ismaya sangat ingin melarikan diri dari kehidupan menyedihkannya di Jakarta. Dengan tinggal bersama Aldrich, ada kemungkinan ia akan dianggap menjadi bagian dari keluarga itu suatu saat nanti. Ia berharap bisa dipanggil tante oleh anak-anak Aldrich yang pastinya menggemaskan.
Memikirkannya saja mampu membuat Ismaya tersenyum.
Lagipula, bagi Ismaya tidak ada yang benar-benar tersisa untuknya di Jakarta ini. Pekerjaannya sudah ia telantarkan dan Aldrich akan menetap di London. Setidaknya dengan tinggal bersama pria itu, akan ada orang yang mengenalnya, walaupun itu hanya sebatas keluarga Aldrich. Tidak invisible seperti sekarang ini.
Tapi disisi lain, Ismaya lelah. Ia capek terus-terusan mencoba melarikan diri seperti ini. Ya, melarikan diri. Semua kejadian yang menimpanya telah menggerus keberaniannya sedikit demi sedikit. Bahkan untuk membela haknya sendiri kini ia sudah tidak mampu.
Harusnya ia masih bekerja sekarang ini, melakukan hal-hal yang diperintahkan Ian, bukannya bersembunyi karena tidak bisa melawan Pak Manajer.
Ismaya juga tidak pernah berniat untuk merepotkan Aldrich lebih jauh. Bertahan di sisinya selama sepuluh tahun saja sudah membuat Ismaya sangat bersyukur. Selama masa pertemanan mereka, Ismaya tidak bisa melakukan sesuatu yang benar-benar berarti bagi Aldrich selain memberikan dukungan karena pria itu sudah memiliki segalanya.
***
Keesokan harinya, Ismaya bersiap untuk pergi ke restoran pagi-pagi sekali. Masih banyak hal yang harus diselesaikan.
Dengan sepucuk surat yang sudah diketiknya tadi malam, Ismaya melangkah memasuki restoran dengan perasaan yang jauh lebih tenang. Sebentar lagi.
Ismaya melangkahkan kakinya menuju kantor Pak Manajer. Mengetuk pintunya.
"Permisi."
Namun seketika Ismaya menghentikan langkahnya memasuki kantor Pak Manajer, merasa heran karena orang yang sekarang sedang duduk di kursi Pak Manajer, sama sekali bukan Pak Manajer yang ia kenal.
"Um, maaf kalau saya tidak sopan, tapi anda siapa ya? Bisa saya bertemu dengan Pak Hutama?"
"Oh, kamu pasti Ismaya ya?"
Bukannya menjawab malah bertanya balik.
"Iya pak. Bisa saya bertemu dengan Pak Hutama? Saya ada perlu."
Pria tua itu tampak melirik jam kecil yang terletak di atas meja, sebelum kembali menatap Ismaya yang sekarang tampak berpikir keras.
"Sayang sekali sekarang belum waktunya jam besuk."
"Hah?" tanyanya, semakin bingung dengan situasinya saat ini.
"Pak Hutama, Manajer restoran ini yang dulu, sedang berada di penjara."
Wow. Berita besar.
"Karena kamu."
"Kenapa bisa karena saya?"
"Salah seorang pegawai melihat rekaman cctv kantor Pak Hutama saat dia mencoba memukul kamu."
"Bagaimana bisa beliau masuk penjara hanya karena itu?"
"Entahlah. Sepertinya diluar restoran beliau juga melakukan perbuatan tidak menyenangkan."
"Lalu bagaimana dengan kondisi storage room? Apakah saya membuat kesalahan?"
"Oh, itu. Tidak, tidak Ismaya. Pak Hutama hanya keliru dan dengan cerobohnya langsung memanggil dan menyalahkan kamu."
"Tidak ada yang salah dengan storage room," lanjut pria itu lagi.
Pikiran Ismaya berkecamuk sekarang. Mengetahui fakta Pak Manajer tidak akan pernah lagi mengusik hidupnya sedikit membuatnya tenang. Tetapi itu juga tidak mengurangi keinginan resign Ismaya karena masih ada hal lain yang harus ia hindari. Jen dan Hana.
"Nama kamu sudah bersih sekarang," pria itu kembali berbicara, membuyarkan lamunan Ismaya, "Saya dengar kamu selalu diperlakukan semena-mena oleh Pak Hutama."
Ismaya tersenyum kecil. Akhirnya ada juga keadilan di hidupnya.
***
Ismaya melangkah keluar dari ruangan Pak Wirawan - yang ternyata merupakan pemilik restoran ini - dengan perasaan yang jauh lebih lega. Walaupun awalnya beliau menolak menerima surat pengunduran diri Ismaya, tapi Ismaya dapat meyakini beliau bahwasanya ia telah menjadi karyawan pembangkang karena 'membolos' selama hampir tiga minggu.
Ia sudah ingin pergi tapi keinginan untuk mengecek keadaan dapur terasa sangat sulit untuk diabaikan. Akhirnya Ismaya melangkah menuju dapur tetapi tidak menemukan keberadaan Chef Ian untuk mengucapkan perpisahan.
"Sedang apa kamu disini?" tanya seseorang. Jen rupanya sedang berada di dapur, sibuk mengocok putih telur dengan hand whisker.
"Ah. Tidak apa-apa. Hanya ingin melihat dapur untuk terakhir kalinya."
Entah kenapa Ismaya kali ini membiarkan hatinya lepas untuk berbicara, karena biasanya tembok pertahanannya selalu lebih tinggi dari hatinya. Mungkin karena untuk terakhir kalinya aku berbicara dengan siapapun di restoran ini.
"Memangnya kamu akan kemana?"
"Aku sudah resign. Um, Jen, kalau aku boleh tahu dimana Hana sekarang?" katanya sambil tersenyum lemah.
Jen untuk sesaat tertegun dengan sikap Ismaya yang lembut seperti ini. Sangat tidak biasanya. Ismaya seharusnya bersikap ketus dan sombong. Ia juga biasanya menolak untuk bertatapan dengan orang lain seperti sekarang ini.
"Aku disini, ada apa mencariku?" tiba-tiba saja Hana muncul dari balik pintu khusus karyawan.
"Aku tahu kalian tidak menyukaiku," kini Ismaya mengelus lengannya dengan sebelah tangannya sendiri, "Tapi tolong maafkan aku kalau aku punya kesalahan."
"Aku tahu kamu menyukai Chef Ian, Han. Aku tidak bermaksud untuk merebutnya darimu." Ismaya memandang Hana sekarang, masih dengan tatapan lembutnya.
"Seperti yang sudah kamu tahu, aku ini yatim piatu. Tidak punya siapa-siapa dan selalu sendirian. Tapi aku tidak suka dikasihani, meskipun hidupku memang layak untuk itu."
Ismaya lagi-lagi tersenyum lemah, tidak tahu setan mana yang merasukinya tadi malam, karena ia belum pernah bicara selepas ini pada orang lain. Selain Aldrich, tentunya.
Tapi ia sedang ingin untuk berbicara kali ini. Menceritakan kegelisahannya. Karena selama kepergian Aldrich ia selalu memendam semuanya sendirian.
Biarlah. Lagipula hanya untuk yang terakhir kalinya, pikirnya. Ismaya membiarkan kedua sejoli itu menatapnya dengan pandangan keheranan, sebelum akhirnya ia mengucapkan salam perpisahan dan berlalu dari tempat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life
RomanceHidup seorang wanita di umurnya yang sudah menginjak seperempat abad sejatinya penuh dengan kebahagiaan akan rencana-rencana masa depan untuk membuka lembaran baru. Tapi tampaknya kebahagiaan adalah satu kata besar bagi seorang Ismaya Hariani. Fakta...