Part 22 - Furlough day

1.6K 120 5
                                    

Sudah dua hari berlalu semenjak Ismaya melihat Serena yang mengunjungi Ian di restoran waktu itu, dan hari ini Ismaya memilih untuk mengambil cuti karena kepalanya terus saja berdenyut ditambah lagi kakinya yang belum sembuh-sembuh juga.

Ah, satu lagi, sakit di hatinya yang seperti tidak ada obatnya.

Matanya kembali melihat pemandangan dari atas balkon flatnya, tetapi pikiran gadis itu masih saja melayang tinggi; kembali teringat dengan satu kecupan yang mampu membuat fokusnya hilang selama dua hari belakangan ini.

Ismaya bukannya tidak mempercayai Serena, tidak, ia mempercayai wanita itu sama seperti ia mempercayai Aldrich. Masalahnya bukan ada pada Serena, tetapi pada Ian. Namun logikanya seolah tidak dapat memungkiri kemungkinan pengkhianatan itu; meskipun hatinya berkata kalau mungkin, mungkin saja, Ian masih mencintai Serena.

Membayangkan kemungkinan itu saja mampu membuat Ismaya menghela nafas untuk yang kesekian kalinya.

Karena kalau benar dugaannya itu, bukan hanya Ismaya yang sakit hati. Ian dan Aldrich akan turut merasakan hal yang sama. Dan ia tidak mau hal itu sampai terjadi.

Ismaya sudah mencoba menghubungi Serena untuk meminta penjelasan, tetapi ponsel wanita itu selalu saja tidak aktif. Sama halnya dengan Aldrich yang menghilang walaupun Ismaya sudah mencoba untuk menghubungi pria itu.

Kini Ismaya termangu sendiri, tidak tahu harus berbuat apa. Padahal belakangan ini ia selalu memperoleh ketenangan apabila sedang bersama dengan Ian ataupun hanya sekedar memikirkan pria itu; tapi kini ketenangan itu hilang hanya karena sebuah kecupan.

"Argh.." Ismaya mengacak-ngacak rambutnya, merasa frustasi sendiri.

Sementara Ian, pria itu masih mengajak Ismaya berbicara dan bercanda seperti biasanya, tapi kemarin Ismaya lebih suka untuk menanggapi pria itu dengan gumaman atau jawaban seadanya saja.

Memang hanya Ian yang mampu membuat Ismaya kacau seperti ini. Dengan satu ucapannya, Ian mampu membuat Ismaya merubah dirinya sendiri; mengubah perspektifnya. Tapi di sisi lain, pria itu juga mampu membuat Ismaya kembali menjadi dirinya yang dulu; gadis yang pesimis dan pemurung.

Ismaya masih saja memandangi orang-orang dibawah sana meskipun pikirannya berkecamuk dan berkelana entah kemana, ketika pintu flatnya diketuk seseorang.

"Ismaya, I know you're in there. People are asking where you've been.." suara Hana.

"Yah, malah nyanyi. Ketuk lagi Han." kali ini suara seseorang, dan Ismaya yakin pernah mendengar suara bentakan gadis ini.

Butuh sekitar lima belas menit bagi Ismaya untuk dapat membukakan pintu. Ia tidak kaget ketika melihat sosok Hana yang langsung tersenyum manis kepadanya, tapi ia sedikit terkejut ketika mendapati sosok gadis yang kini tengah berdiri sambil memilin-milin ujung bajunya disebelah Hana.

"Jen?"

Jen tersenyum menatap Ismaya, rasa bersalah seketika menyerang hatinya.

"Aku minta maaf Ismaya. Aku salah. Tidak seharusnya aku melakukan hal semena-mena terhadapmu." kata Jen, setelah beberapa saat terdiam.

"Kamu tidak pantas diperlakukan seperti itu." katanya lagi, kali ini sambil tersenyum lemah.

"Kudengar kamu sakit, jadi aku membawakan buah." Jen berkata sambil mengangkat bungkusan plastik yang berisi berbagai macam buah-buahan, kecuali durian tentunya.

"May, katakan sesuatu dong. Jen sudah minta maaf tuh." Hana yang kali ini berbicara, mencoba menegur Ismaya karena gadis itu sedari tadi diam saja, tidak merespon permintaan maaf Jen.

LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang