Dibuka mulmed-nya ya. Biar lebih ngena hehe.
Enjoy.
*
Ismaya memandang bangunan rumah sakit di hadapannya seperti zombie. Dengan perlahan tapi pasti, kakinya mulai memasuki gedung bercat putih itu dengan sisa-sisa kekuatan yang ia punya. Air matanya kembali jatuh, entah untuk yang keberapa kalinya, karena pipinya tidak kering-kering juga semenjak mengangkat panggilan tadi.
Satu panggilan yang memberitahukan kecelakaan yang dialami Ian.
Untuk kali ini, Ismaya tidak mau tergesa-gesa. Ia takut kalau situasinya akan sama seperti dulu; dimana ia mendapati tiga jasad yang terbujur kaku diatas bangsal rumah sakit. Telinganya tidak mampu mendengar suara itu lagi, suara memekakkan dari osiloskop yang menunjukkan garis lurus tanpa henti. Ismaya menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba untuk berpikiran positif meskipun hatinya kalut.
Kakinya mulai bergemetar lagi, heels yang dipakainya tadi sudah dilepasnya entah dimana. Riasan yang mempercantik wajahnya sudah terhapus air matanya sendiri. Untuk sesaat, Ismaya mendudukkan dirinya sendiri di kursi rumah sakit. Sekarang untuk menemukan kamar Ian saja, ia butuh bantuan orang lain.
Untungnya ada suster rumah sakit itu yang melihat kondisinya dan bersedia untuk membantunya menemukan kamar Ian.
Ismaya memandang pintu yang memisahkan dirinya dan Ian, sebelah tangannya terangkat untuk membuka pintu besi yang terasa dingin itu.
Pertama kali memasuki ruangan itu, yang ia lihat adalah sepasang suami istri yang tampak cemas menunggui siapapun yang akan datang menemui Ian yang kini tengah terbaring lemah diatas kasur rumah sakit. Pria itu jauh dari kata baik-baik saja.
"Mbak keluarganya?" Suara pria yang tadi meneleponnya.
Ismaya hanya bisa diam mematung, pandangannya tak lepas dari sosok yang beberapa jam lalu masih mampu menyanyikan lagu romantis untuknya, kini tidak bisa bernafas tanpa bantuan selang. Air matanya kembali jatuh, padahal baru beberapa jam yang lalu ia tertawa karena ulah bodoh pria itu. Pria yang menjadi bahagianya.
Tidak adakah cobaan lain selain ini? Kumohon, apapun selain ini.
"Maafkan kami. Kami bersalah." kata wanita paruh baya itu, matanya sudah berair memandang Ismaya.
Mendengarnya membuat Ismaya menolehkan kepalanya, menatap pasangan itu dengan nanar, "Apa yang telah kalian lakukan?"
"Maafkan kami. Maaf." Pria paruh baya itu juga mengutarakan maaf, tapi kemarahan Ismaya sudah mencapai puncaknya.
"Keluar."
"Ta-Tapi, saya belum bertemu orang tuanya.." Wanita itu terbata-bata, suaranya bergemetar sekarang.
"KELUAR!" Ismaya bahkan tidak peduli lagi kalau orang yang dibentaknya itu adalah orang tua, karena mereka telah merebut orang yang ia sayangi dari sisinya – lagi.
"Maafkan kami, saya mohon." Sekarang pria itu terlihat mengiba, meminta pengampunan Ismaya meskipun ia sendiri tahu kalau mustahil bagi gadis itu untuk memaafkannya saat itu juga.
"Sudah, Pa. Kita tunggu sampai dia tenang saja," Wanita itu mengusap air matanya sambil menyentuh lengan suaminya pelan, "Kalau begitu kami akan pergi. Saya menemukan benda-benda milik Fabian di jok mobilnya, jadi saya membawanya kemari." kata wanita itu lagi sambil berlalu pergi bersama suaminya.
Sepeninggal kedua pasangan itu, Ismaya kini tergugu di tempatnya. Pandangannya masih tidak bisa lepas dari tubuh kekasihnya yang kini penuh luka; tak ada lagi senyuman dan cibiran yang keluar dari bibir pria itu, karena yang sekarang hanya bisa dilakukannya adalah terbaring tak berdaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life
RomanceHidup seorang wanita di umurnya yang sudah menginjak seperempat abad sejatinya penuh dengan kebahagiaan akan rencana-rencana masa depan untuk membuka lembaran baru. Tapi tampaknya kebahagiaan adalah satu kata besar bagi seorang Ismaya Hariani. Fakta...