"Ismaya, aku lapar."
"Kita makan dulu ya?"
"Aku dari tadi belum makan."
Ismaya sudah capek mendengar rengekan Ian semenjak mereka mulai berjalan kaki dari restoran. Pria itu sedari tadi sudah memegangi perutnya sembari memandang Ismaya dengan tatapan memelas.
"Ah! Lihat itu!" kata Ian tiba-tiba, "Ada pasar malam!" serunya lagi yang kemudian menunjuk keramaian yang terletak di seberang jalan.
"Lalu kenapa Ian? Aku ingin pulang," kata Ismaya sambil menghela nafasnya pelan.
Tanpa mendengar protesan Ismaya, Ian sudah mengambil tangan gadis itu untuk diseretnya memasuki area pasar malam.
"Sudah lama aku tidak kesini." Ian memandang berbagai wahana yang biasa ditemukan di pasar malam pada umumnya serta toko-toko dadakan beratapkan tenda yang disusun rapi berjejer.
"Cepatlah beli makananmu lalu kita pergi dari sini." Ismaya tampaknya tidak begitu tertarik dengan tempat itu; tidak seperti Ian yang sepertinya kembali menjelma menjadi anak usia lima tahun.
"Ayolah nona penggerutu! Nikmati saja tempat ini."
Ismaya mendengus mendengar cibiran Ian. Tapi setelah dilihat-lihat lagi tempat ini tidak begitu buruk juga.
Ismaya terus saja memandangi booth di sekeliling mereka, ketika matanya menangkap tenda yang terlihat sangat berasap; hampir saja dirinya mengira ada kebakaran tadi, "Lihat Ian! Jagung bakar!"
Ian tersenyum dalam hati melihat Ismaya yang kini sama bersemangatnya seperti dirinya.
Ismaya memesan jagung bakar mentega sementara Ian memesan hotdog, kentang goreng dan sepotong risol daging.
"Kamu sedang lapar sekali ya?"
"Aku 'kan daritadi memohon padamu agar kita makan dulu Ismaya," kata Ian, "Kamu itu benar-benar."
"Maaf maaf. Kupikir rumahku sudah dekat tadi," balasnya, sambil nyengar-nyengir. Merasa bersalah juga pada pria itu.
Ismaya mulai menggigiti jagung bakar yang berada di tangannya sekarang, terlihat begitu menggoda.
"Hahaha! Astaga wajahmu!" Ian hampir tersedak makanannya sendiri ketika melihat wajah Ismaya yang sekarang hampir terlihat seperti Joker.
"Kamu terlihat menyeramkan Ismaya," sembari tertawa Ian mengeluarkan sapu tangannya yang kemudian ia gunakan untuk mengelap sisa-sisa bumbu jagung di sekitar mulut Ismaya, "Mahluk mana yang bisa makan sampai seberantakan ini."
"Hati-hati kamu gendut makan banyak jam segini." Ismaya rupanya tidak mau kalah, ia memandang wajah dan perut datar Ian bergantian lalu berkata, "Aku tidak mau diantar pulang om-om buncit."
"Aku bukan om-om dan aku tidak akan buncit! Kita hanya terpaut dua tahun," kata Ian, kali ini sambil melipat kembali sapu tangannya dan memasukkannya asal ke saku celana yang ia pakai.
Ismaya ganti tertawa melihat raut kesal Ian. Belakangan ini ia sering tertawa kalau di dekat pria itu.
"Kamu tidak tahu kalau lemak itu takut padaku. Terutama perutku."
Ismaya masih terkekeh pelan ketika menjawab, "Ya ya terserahmu sajalah."
Satu persatu kentang goreng habis dilahap Ian, ketika tiba-tiba ia mendengar teriakan seseorang di microphone. Orang bodoh mana yang berteriak ketika menggunakan mic.
"AYO KITA IKUTI! ACARA MEMASAK HANYA MALAM INI!"
"MENANGKAN HADIAHNYA!"
Terlihat sekali raut kekagetan di wajah Ismaya. Setengahnya karena mendengar teriakan orang itu, dan setengahnya lagi karena melihat Ian yang ternyata bisa spot jantung juga. Karena sejarahnya, seorang Fabian tidak pernah terlihat kaget atau panik. Entahlah, Ian dan sikap robotnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life
RomanceHidup seorang wanita di umurnya yang sudah menginjak seperempat abad sejatinya penuh dengan kebahagiaan akan rencana-rencana masa depan untuk membuka lembaran baru. Tapi tampaknya kebahagiaan adalah satu kata besar bagi seorang Ismaya Hariani. Fakta...