Berbaikanlah dengan hatimu.
Kamu jauh lebih baik dari itu.
Kalimat-kalimat Ian terus saja terngiang di kepala Ismaya bagai kaset rusak. Memang kali ini pria itu ada benarnya. Terakhir kali ke restoran, Ismaya menemukan dirinya mampu membagi kegelisahannya dengan orang lain tanpa takut dikasihani, meskipun pada awalnya ia berpikir kalau hari itu akan menjadi hari terakhirnya menginjakkan kaki di restoran.
Ismaya ingat bagaimana perasaan tenang melingkupi hatinya saat itu. Bagaimana ternyata kepedihan yang dirasakannya selama ini dapat berkurang hanya dengan membagi kisahnya.
Tetapi bagaimana jika keadaannya akan sama seperti dulu? Ia akan kembali jatuh ke lubang yang sama.
Move on tidak selalu identik dengan memulai hal-hal baru.
Perbaiki.
Ismaya tertegun. Bisakah ia memperbaiki semuanya?
***
Ismaya bangun ketika sinar matahari mulai terasa menusuk kelopak matanya, memaksanya untuk kembali ke alam sadar. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi dan celakanya, ia terlambat.
Dengan kemampuan supernya bersiap-siap, Ismaya sudah rapi lima belas menit kemudian dan sampai di tempat kerja tak lama setelahnya.
Semua berkat sisi quicksilver dalam diriku.
Melihat pintu bercat hitam itu, Ismaya hanya bisa menghela nafasnya. Semoga pilihannya untuk kembali tidak salah kali ini.
Ismaya melangkahkan kakinya menuju dapur dan berpapasan dengan beberapa karyawan restoran. Dirinya yang dulu akan berjalan dengan wajah yang menolak untuk bertatapan dengan siapapun; tapi sekarang berbeda.
Ismaya sudah mampu untuk menyunggingkan senyum tipisnya kepada orang-orang yang dilewatinya, meskipun reaksi yang ditunjukkan tidaklah terlalu baik, tetapi setidaknya ia sudah berusaha.
"Kamu tidak sadar sudah jam berapa ini Ismaya?" tanya Ian keheranan, sesaat setelah Ismaya memasuki dapur dan kini sedang sibuk mengikatkan tali seragam berwarna putih khas pegawai dapur kepunyaannya.
"Maafkan saya chef. Tadi ada sedikit macet," kata Ismaya, sesekali melirik Ian yang terlihat gusar pagi ini.
"Macet dari Hongkong! Jalanan lengang begitu," balas Ian, sedikit sengit karena Ismaya masih saja mencari-cari alasan.
"Memang siapa yang bilang kalau jalanannya yang macet. Keran air di rumah saya yang macet tadi makanya saya terlambat." Ismaya hanya bisa nyengir kuda.
"Sudahlah. Sekarang cepat kerjakan tugasmu."
"Siap chef."
Setelah mendengar keseriusan dalam perkataan Ismaya, Ian akhirnya berlalu kembali ke station-nya dengan hati lega. Setidaknya gadis itu mau mencoba.
Tetapi tak lama kemudian, batin Ian berperang. Kenapa ia benar-benar mengharapkan Ismaya kembali? Sekali lagi ia lirik gadis itu yang masih saja sibuk dengan seragamnya. Ian merasa kalau sepeninggalnya Ismaya, ada sesuatu yang hilang di dapurnya. Entah apa.
Tak menyadari keadaan bosnya yang tiba-tiba saja galau, Ismaya kini terlihat sibuk mengeluarkan peralatan memasak dari kabin yang terletak dibawah station-nya ketika sebuah tangan menaruh gelas berisikan kopi yang masih mengepul di atas meja.
"Ehem." Hana berdeham untuk mendapatkan perhatian Ismaya, yang kemudian berhasil karena sekarang gadis itu menatapnya keheranan. "Ini untukmu. Tadi aku membelinya untuk Jen tapi ternyata dia tidak masuk."
KAMU SEDANG MEMBACA
Life
Любовные романыHidup seorang wanita di umurnya yang sudah menginjak seperempat abad sejatinya penuh dengan kebahagiaan akan rencana-rencana masa depan untuk membuka lembaran baru. Tapi tampaknya kebahagiaan adalah satu kata besar bagi seorang Ismaya Hariani. Fakta...