"Kenapa dia ikut-ikutan sih May?" Hana berbisik di telinga Ismaya, tidak ingin perkataannya didengar oleh pria yang sekarang sedang berjalan dibelakang mereka.
"Oh, dia? Dia bilang ingin ikut dengan kita." Ismaya berbicara dengan santai, berbanding terbalik dengan Hana yang terlihat kikuk karena bosnya mengekori mereka dari belakang.
"Tapi kenapa dia mau ikut kita ke café itu?"
Sekarang ini mereka bertiga sudah berjalan menuju café yang diceritakan Hana, dengan Ian yang diam saja sedari tadi.
"Aku juga tidak tahu Han. Mungkin dia sedang bosan." Ismaya mengedikkan bahunya, pura-pura tidak tahu dengan masalah kenapa-Ian-ikut-dengan-mereka.
Hana terkikik sebentar sebelum membalas perkataan Ismaya, "Yasudah, kita anggap nyamuk saja."
Ismaya memandang Hana, "Hei, bukannya kamu suka dengan dia?" kali ini gantian Ismaya yang berbisik di telinga gadis itu.
"Aku sudah melewati masa-masa galauku." kata gadis itu sambil mengedipkan sebelah matanya.
Mereka bertiga sudah sampai di café itu dan segera memilih tempat duduk di dekat jendela.
"Selamat malam, tuan dan nona-nona. Mau pesan sekarang?"
Hana dan Ismaya terpaku untuk sesaat ketika melihat sosok pelayan pria yang baru saja menghampiri meja mereka. Ternyata benar perkataan Hana, staff disini sebelas duabelas dengan artis Korea. Korea Selatan, tentunya.
"Um, nanti saja."
"Baiklah," kata waiter itu sambil menyerahkan daftar menu, "Kalau begitu anda bisa memanggil saya kalau sudah selesai memilih. Saya permisi." Kali ini waiter itu membungkukkan badannya sopan dan berlalu pergi.
Pelayan itu semakin menjauhi meja mereka, menyisakan tatapan kagum dari kedua gadis itu.
Namun berbeda dengan tatapan Hana yang penuh binar ketertarikan, Ismaya justru berpikir kalau standar pelayanan di café ini luar biasa. Mungkin saja bisa diterapkan di restoran nanti.
Sementara Ian hanya bisa menatap Ismaya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Hei, jangan terpesona begitu May."
"Aku? Oh, aku tidak – " Ismaya baru saja ingin mengatakan kalau ia bukan terpesona karena wajah pelayan itu melainkan manner-nya, tapi seketika saja ia teringat dengan aksi balas dendamnya, "Ah, iya. Kamu benar Hana, staff disini memang tampan."
"Benarkan? Karena wanita memang selalu benar."
Hana dan Ismaya kompak tertawa berbarengan.
"Pelayan."
Untuk pertama kalinya Ian bersuara semenjak mereka bertiga tiba di café itu.
Setelah memesan makanan, Ismaya dan Hana terus saja mengobrol – membicarakan pria-pria tampan di café itu – tanpa menghiraukan Ian. Tapi sepertinya tatapan pria itu selalu setia mengikuti setiap gerak-gerik Ismaya.
Hingga lama kelamaan Ismaya merasa aneh dipandangi terus menerus seperti itu.
Kenapa malah dia yang tenang dan aku yang canggung begini?
Untungnya pesanan mereka tak butuh waktu lama. Ismaya langsung saja menyantap makanannya dengan lahap, membuat Ian yang menyaksikan itu hanya tersenyum kecil sambil menyesap kopinya.
"Kenapa kamu menatapku seperti itu?"
"Apa? Aku? Aku kan duduk disini jadi wajar kalau aku memandang kalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
Life
RomanceHidup seorang wanita di umurnya yang sudah menginjak seperempat abad sejatinya penuh dengan kebahagiaan akan rencana-rencana masa depan untuk membuka lembaran baru. Tapi tampaknya kebahagiaan adalah satu kata besar bagi seorang Ismaya Hariani. Fakta...