Kematian.
Sebegitu mengerikan?
Sebegitu meyedihkan?
Bagi sebagian besar umat manusia, kematian adalah akhirnya.
Tapi, tidak bagi perempuan itu.
Perempuan yang ditinggal koma kekasihnya.
Kematian menurut hematnya adalah solusi – jalan pintas.
Jalan keluar dari setiap permasalahannya.
Karena selama ini ia selalu berjalan sendiri.
Menanggung beban sepanjang hidupnya.
Sampai tiba masanya, ia akan lepas dari semua jerat masa lalu yang begitu pilu.
Demi pria yang kelak menjadi masa depannya.
Walaupun mungkin tidak di kehidupan ini.
***
Dua minggu kemudian.
Perlahan tapi pasti, kedua mata Ian pelan-pelan terbuka. Langit-langit berwarna putih menjadi hal pertama yang ia lihat. Ian mencoba menggerak-gerakkan tangannya, tetapi rasanya kaku sekali.
Pandangannya sedikit mengabur, masih berusaha untuk beradaptasi dengan cahaya terang di dalam kamar berdinding putih dengan ciri khas rumah sakit itu yang sedikit menyilaukan penglihatannya.
Akhirnya dengan sedikit usaha, Ian mencoba untuk bangkit tapi gagal karena perutnya yang terasa sakit; perih sekali. Erangan pelan pun lolos dari bibirnya.
Tak lama setelahnya, seorang wanita diumur akhir dua puluhan yang mengenakan pakaian khas suster memasuki kamarnya dan tersenyum lembut menyadari dirinya yang sudah siuman.
"Halo, Fabian. Sudah siuman rupanya?"
Bisa lihat sendiri kenapa harus bertanya.
"Saya akan mengganti IV-nya. Anda pulih cepat sekali."
Suster Diana bergerak menggantikan IV Ian, sementara Ian masih beradaptasi dengan keadaan kamar rumah sakit itu dan keadaannya sendiri.
"Anda dirumah sakit dan baru sadar dari koma. Anda mengalami kecelakaan mobil," kata Diana, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berseliweran di kepala Ian.
Pria itu terlihat kaget, matanya sedikit melebar ketika kembali mengingat kecelakaan yang mampu membuat kepalanya berdenyut karenanya, "Be-Berapa lama?" akhirnya setelah berusaha menggerakkan bibirnya, kalimat itu keluar juga.
"Beberapa minggu. Sebaiknya anda jangan banyak bicara dulu, luka operasi anda masih belum kering." Diana tersenyum sekali lagi sebelum pergi meninggalkan Ian yang masih mencoba untuk menajamkan instingnya.
Ian masih termangu untuk sesaat, ketika ia mencoba menggerakkan jarinya lagi, dan akhirnya berhasil. Setelah dirasa mampu menggerakkan tangannya, ia menyentuh daerah perutnya dan menekannya pelan. Lagi, sakit itu kembali.
Ian masih mencoba menahan sakitnya ketika ia tiba-tiba saja teringat dengan Ismaya. Instingnya yang tumpul mencari-cari keberadaan gadis itu. Sebisanya ia meraih tombol diatas kepalanya, dan tak butuh waktu lama bagi Suster Diana untuk menghampirinya lagi.
"Apa ada gadis yang bernama Ismaya kemari?"
"Ya. Ismaya adalah wali anda sewaktu anda dibawa kemari."
"Lalu, dimana dia sekarang?"
Diana tersenyum, tapi kali ini ia tidak berani memandang ataupun menjawab pertanyaan pasiennya yang satu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life
RomantikHidup seorang wanita di umurnya yang sudah menginjak seperempat abad sejatinya penuh dengan kebahagiaan akan rencana-rencana masa depan untuk membuka lembaran baru. Tapi tampaknya kebahagiaan adalah satu kata besar bagi seorang Ismaya Hariani. Fakta...