Part 7 - Choices

3.4K 270 0
                                    

Gambar diatas itu foto Serena ya.

Enjoy.

*

Beberapa hari berlalu semenjak kejadian di restoran – perang antara Ismaya dengan Pak Manajer dan gencatan senjata dengan Aldrich – dan kini Ismaya benar-benar sudah tidak peduli lagi. Semenjak kepergiannya dari restoran, belum seharipun selama beberapa hari ini ia pergi kerja. Biarlah ia dipecat karena tidak pernah merespon telepon dari restoran.

Untungnya kali ini Aldrich sudah bersama-sama lagi dengan Ismaya, dan juga persiapan pernikahan pria itu membuatnya ikut sibuk belakangan ini. Ia bersyukur, pertemuannya dengan Serena menyisakan kesan kalau memang wanita cantik itu cocok dengan Aldrich. Atau setidaknya, mampu bertahan menghadapi pria itu.

Untuk sesaat, Ismaya melupakan kegelisahannya karena ditinggal Aldrich menikah. Sesaat.

Ismaya mengikatkan pita kawat berwarna biru muda pada sebuah bungkusan yang berisi souvenir pernikahan Aldrich dan Serena. Kedua calon pengantin itu rupanya mengambil kesempatan dalam kesempitan karena Ismaya sedang menganggur dua minggu ini.

Ismaya sudah selesai mengurusi bungkusan-bungkusan itu ketika matanya menangkap Aldrich dan Serena sedang bermesraan di dapur.

"Tidak!" seketika saja Ismaya menutup matanya saat tidak sengaja melihat Aldrich memeluk dan mencium leher Serena dari belakang yang sedang membuatkan makan siang mereka, "Aku sudah tidak suci lagi."

"Kamu berlebihan. Aku bahkan belum sampai ke adegan pamungkasnya." Aldrich kini menatap Ismaya sebelum akhirnya melirik Serena penuh arti.

"Aldrich beraninya kamu bermesraan di rumah seorang gadis lajang!"

"Maafkan dia Ismaya. Al memang tidak tahu etika." Serena hanya bisa tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kamu harus kuberi pelajaran Ald. Kemari!"

"Pelajaran apa? Aku sudah menguasai seluruh mata kuliahku."

"Maksudku bukan pelajaran seperti itu! Kesini sekarang juga."

Mendengar nada serius Ismaya mau tak mau akhirnya Aldrich mendekat juga. Setelah berdiri berhadap-hadapan, Ismaya memandang Aldrich dengan senyum penuh perhitungan.

"Jangan tersenyum seperti itu. Mengerikan tahu."

"Lihat ke bawah Ald," kata Ismaya kemudian menunjuk lantai dengan satu jarinya. Matanya tak mau lepas dari wajah Aldrich karena tidak ingin melewatkan momen besarnya. Satu. Dua. Ti-

"AAAAAHHHH! Jauhkan! Jauhkan dariku Ay!"

"Hahaha! Astaga Ald! Mukamu seperti badut."

Lagi-lagi Ismaya tertawa terbahak-bahak karena Aldrich. Ia hampir kena serangan asma mendadak tadi.

Kecoa yang tadi menempel di atas kaki Aldrich kini sudah entah bagaimana nasibnya karena terkena tendangan mautnya. Semoga saja tidak masuk ke makan siang mereka.

"Badannya seperti atlit tapi takut kecoa."

Ismaya bersumpah kali ini bukan ia yang mencibir Aldrich. Ketika tawanya mulai mereda ia mendapati Serena yang kini ikut-ikutan tertawa meledek calon suaminya. Benar-benar pasangan aneh.

***

"Ayo dimakan Ismaya. Anggap saja rumah sendiri," kata Serena. Ia sibuk menghidangkan berbagai macam makanan di atas meja makan, mulai dari hidangan western hingga masakan Jawa. Semuanya terlihat lezat. Tapi kalimat yang diucapkan Serena membuat Ismaya menatap wanita itu heran.

"Loh ini kan memang rumahku, Ser?"

Ismaya terkekeh pelan melihat Serena yang menggaruk belakang kepalanya sendiri. Istri dan suami sama saja.

"Yasudah, dimakan saja. Ayo Al, makanannya keburu habis nanti."

Setelah berkata seperti itu Serena memandang Ismaya dengan tatapan, um, kelaparan? Mungkin Ismaya punya partner  wisata kuliner baru sekarang.

Aldrich yang sedari tadi memilih untuk menonton TV karena kejadian kecoa tadi, sekarang sudah bergabung dengan kedua gadis berharganya di meja makan. Tidak menyadari perubahan raut wajah Ismaya.

Ismaya sendiri sibuk dengan pikirannya ketika melihat sepiring besar ravioli dengan saus krim jamur. Signature dish-nya Chef Ian. Berbicara tentang Ian, Ismaya jadi ingat kalau pria itu selalu terlihat bahagia di dapur kalau sudah berurusan dengan segala jenis pasta.

Menurut Ian, membuat fresh pasta itu penuh filosofi. Agak berlebihan memang, tapi menurutnya jika kamu tidak dapat menyeimbangkan takaran antara tepung, telur dan air, pasta yang kamu buat tidak akan kalis dan menyatu. Belum lagi teknik yang dibutuhkan untuk menggiling adonan pasta yang telah didiamkan, serta bagaimana membuat filling dan sauce yang cocok untuk pastanya.

Kalau orang lain mencintai kopi atau teh, Ian mencintai pasta.

Mengingat itu saja Ismaya kemudian berpikir bagaimana keadaan dapur Ian sekarang. Apakah ada perbedaan tanpa dirinya? Ian adalah sosok yang perfeksionis, tapi Ismaya bersyukur karena lama kelamaan sifat itu menurun juga kepada dirinya. Dulu Ian adalah tipikal bos kejam dengan watak hampir sama seperti Pak Manajer.

Tapi belakangan, sikapnya jauh lebih baik. Lebih lembut.

Ismaya terus saja melamun dan akhirnya tersadar ketika makanan di meja makan hanya tinggal tersisa setengah dan ia belum makan.

***

"Sudah berapa kali kubilang Al, yang warna ungu saja!"

"Tidak Ser. Warna pink lebih bagus!"

"Ungu!"

"Merah muda!"

Prilaku Aldrich-Serena memang betul-betul bisa membuat kepala Ismaya pusing. Sudah sejak lima belas menit yang lalu mereka berdebat soal menentukan warna buket bunga untuk mempelai wanitanya nanti. Aldrich sebagai calon suami benar-benar tidak bisa mengerti perasaan seorang wanita. Lama-lama Ismaya mulai jengkel dengan sikap sahabatnya itu.

"Sudahlah Ald, yang warna ungu lebih bagus." Ismaya sudah lelah menyaksikan adu mulut diantara keduanya, akhirnya ia memutuskan untuk menyuarakan pendapatnya.

"Akhirnya. Terima kasih Ismaya."

Serena tersenyum lebar ketika memberitahukan pilihannya kepada petugas bridal store yang sedari tadi melongo menyaksikan aksi adu mulut mereka.

"Sama-sama. Lagipula selera Ald itu payah," cibir Ismaya, sambil melirik Aldrich yang bermuka masam sekarang.

Ismaya dan Serena kompak tertawa cekikikan. Kalau biasanya lawan Aldrich hanya Ismaya, sekarang ia harus pasrah lawannya bertambah satu.

Setelah mencari kebutuhan pernikahan ke bridal store tadi, Ismaya kini sudah kembali ke kursi belakang mobil Aldrich bersama dengan Serena yang terlelap di kursi depan. Menyisakan Ismaya dan Aldrich yang mengobrol santai sepanjang perjalanan pulang.

"Aku sangat bahagia sekarang Ay." Aldrich tersenyum, lalu melirik sekilas Serena yang tertidur di sebelahnya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Ismaya kemudian berpikir apakah masih ada Aldrich yang akan memandangnya seperti itu. Jangan mulai hati kecil.

"Pasti. Serena sangat cantik. Kamu beruntung."

"Aku akan membawanya ke London Ay. Aku dan dia akan menetap di sana."

A-Apa?

"Ta-Tapi kenapa?"

Kedekatan yang baru saja coba Ismaya bangun dengan orang lain selain Aldrich, harus hancur dengan satu keputusan pria itu.

"Aku akan kembali melanjutkan studiku dan bekerja di perusahaan Ayah disana, Ay. Jadi kupikir lebih baik sekalian menetap disana."

Belum lagi Ismaya membalas ucapan Aldrich, pria itu sudah kembali berkata, "Ikutlah dengan kami."

LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang