"Aldrich kamu kemana saja sih?"
Ismaya sudah melontarkan pertanyaan yang sedari kemarin bercokol di kepalanya bahkan sebelum Aldrich sampai dan duduk di kursinya.
"Kenapa kamu rusuh begitu sih? Serena sedang hamil, ingat?" Aldrich akhirnya mulai bicara setelah dirinya menempati kursi yang berhadapan dengan Ismaya.
"Maaf," Ismaya menundukkan kepalanya, masih ragu untuk menceritakan kejadian yang belakangan ini selalu berseliweran di benaknya, "Aku hanya butuh bercerita Ald."
"Apa itu Ay? Aku siap mendengarkan."
"Tapi aku tidak yakin," kata Ismaya, masih bimbang dengan tindakannya ini, "Kamu duluan saja deh. Ada perlu apa kamu menemuiku?"
Mendengar pertanyaan Ismaya, Aldrich justru terkekeh pelan hingga membuat gadis itu bingung karenanya, "Ald apakah ada yang lucu?"
Aldrich yang melihat raut keseriusan di wajah Ismaya akhirnya memilih untuk mengakhiri tawanya, daripada nyawanya yang berakhir di tangan gadis itu.
"Ah, tidak tidak. Tapi apakah butuh alasan bagiku untuk menemuimu?"
Ismaya berpikir sejenak, "Tidak ada sih."
"Nah, itu sendiri kamu tahu kan? Aku hanya ingin bertemu. Tidak ada alasan khusus."
Belum lagi Ismaya sempat membalas pekataan Aldrich, matanya sudah melihat sosok Ian dan Serena yang sedang berjalan berdampingan hingga akhirnya memasuki coffee shop yang ia dan Aldrich tempati.
Astaga Tuhan. Jangan sekarang.
"Lihat Aldrich!" Ismaya tiba-tiba saja berteriak membuat Aldrich kaget, "Cuaca diluar bagus sekali." katanya sambil menunjuk langit biru diluar sana.
Sementara Aldrich hanya menanggapinya dengan gumaman kecil dan kembali menyeruput es kopinya yang sudah dipesankan Ismaya tadi.
Tapi tampaknya usaha mengalihkan perhatian Aldrich yang dilakukan Ismaya tidak berguna sama sekali karena sekarang Serena dan Ian sudah menghampiri meja mereka dengan raut wajah yang bertolak belakang.
"Hai Ismaya! Kamu juga ada disini rupanya." Sapa Serena riang. Tak butuh waktu lama ketika ia beranjak memeluk Aldrich dan duduk disebelahnya, "Hai Al."
"Kamu lama sekali Ser." balas Aldrich, sambil mengelus lembut perut istrinya.
Meninggalkan Ismaya yang menatap kedua insan itu dengan tatapan yang ia sendiri tidak tahu artinya. Campuran antara iri dan prihatin, mungkin?
"Kenapa kamu ada disini?" Suara itu. Entah sejak kapan suara lembut itu berubah dingin kembali.
"Apa aku harus melaporkan setiap kegiatanku padamu?" Ismaya menatap Ian tepat di manik matanya, menunjukkan keberanian. Walaupun hatinya kembali terasa sakit.
"Kamu harus bekerja. Kamu belum sadar ini sudah jam berapa?" kata Ian lagi, kini pria itu balik menatap tajam Ismaya.
"Kenapa aku harus menurutimu?"
"Karena aku ini bosmu. Kamu lupa?"
Terdengar dengusan keluar dari bibir Ismaya, "Jangan pernah berpikir kalau kamu memiliki kendali atasku Ian. Kamu hanya akan menjadi bosku kalau sedang berada di dapur itu."
"Dan sekarang, lihat sekelilingmu." Ismaya melebarkan kedua tangannya, "Apa kita sedang berada di dapur?"
"Lalu apa maumu? Jangan membangkang Ismaya." Ian kembali berkata dengan nada dingin, ekspresi pria itu terlihat keras.
"Atau kamu ingin pergi dari dapurku?" katanya lagi.
"Kalau satu ucapanmu mampu membuatku kembali, kenapa sekarang tidak sebaliknya?" Ismaya tersenyum sinis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life
RomanceHidup seorang wanita di umurnya yang sudah menginjak seperempat abad sejatinya penuh dengan kebahagiaan akan rencana-rencana masa depan untuk membuka lembaran baru. Tapi tampaknya kebahagiaan adalah satu kata besar bagi seorang Ismaya Hariani. Fakta...