Ismaya menjadi karyawan pertama yang sampai di restoran pagi itu. Betapa tidak, jarum jam masih bertahan di angka lima dan matahari belum menampakkan wujudnya.
Pagi itu Ismaya ditemani oleh segelas kopi dan musik yang mengisi keheningan di dapur. Ia masih mengecek list yang telah selesai dibuatnya; setelah yakin tidak ada yang tertinggal, Ismaya memilih untuk beranjak keluar restoran, menikmati segarnya udara di pagi hari.
I got this feeling inside my bones.
It goes electric, wavey when I turn it on.
All through my city, all through my home.
We're flying up, no ceiling, when we in our zone.
Kini dengan earphone yang dipasangnya, Ismaya berdiri di depan restoran dengan perasaan yang jauh lebih lega dan bebas. Sejak kemarin, Ismaya benar-benar berusaha menuruti nasihat Ian untuk berbaikan dengan hatinya.
Karena hidup ini hanya sekali. Lakukan apa yang ingin kamu lakukan.
Sekarang Ismaya sudah menengadahkan kepalanya dan memejamkan mata. Kali ini bukan meratapi nasib buruk yang menimpanya seperti yang biasa ia lakukan.
Melainkan bersyukur karena telah diberikan kesempatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya. Hidupnya.
Ismaya sadar kalau ia tidak akan bisa selamanya menghindar dari rasa kasihan orang-orang, karena bahkan orang terkuat di dunia ini juga pasti pernah dikasihani. Yang harus dilakukan bukanlah menghindar; tetapi menerima dan menjalaninya, sambil terus berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Tangan Ismaya terangkat ke udara, seolah ingin menggapai kebebasan yang baru saja didapatkan hatinya.
"Astaga Ismaya! Kamu sedang apa disana?"
Ismaya kaget mendengar namanya diteriakkan seperti itu. Sejurus kemudian ia melepaskan earphone-nya dan mencari sumber suara.
"Kamu bikin saya kaget saja! Saya pikir kamu kerasukan tadi." Pak Wirawan berbicara sambil mengelus dadanya dengan sebelah tangannya. Mulutnya berkomat-kamit membaca doa.
"Maaf pak. Saya hanya berusaha menikmati embun pagi," kata Ismaya sembari tersenyum dikulum, pria paruh baya itu benar-benar shock mendapati dirinya yang terlihat seperti orang waras tadi.
"Embun pagi apanya! Air di tanaman itu berasal dari sini Ismaya." Pria itu berkata lagi, kali ini sambil menunjuk watering can yang airnya kini hanya tersisa setengah.
"Jangan bilang kamu menikmati air keran ini. Benar-benar kamu itu." Pak Wirawan tertawa pelan, tak habis pikir dengan kelakuan Ismaya.
"Pantas rasanya aneh pak," kali ini Ismaya ikut-ikutan tertawa bersama Pak Wirawan. Beliau benar-benar berbeda dari Pak Manajer yang dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life
RomanceHidup seorang wanita di umurnya yang sudah menginjak seperempat abad sejatinya penuh dengan kebahagiaan akan rencana-rencana masa depan untuk membuka lembaran baru. Tapi tampaknya kebahagiaan adalah satu kata besar bagi seorang Ismaya Hariani. Fakta...