Sudah seminggu berlalu semenjak kejadian di storage room itu, dan kini Ismaya merasakan perbedaan besar pada kehidupannya.
Ian tampaknya serius dengan perkataannya, pria itu kini mengikuti setiap aktivitas Ismaya dengan tatapan elangnya, walaupun station mereka sebenarnya berseberangan.
Tapi Ismaya merasa kalau semuanya ini salah; Ian seharusnya menjadi sosok dingin yang hanya peduli pada kesempurnaan hasil kerjanya.
"Chef! Saya sedang fokus memotong bahan-bahan ini!" Ismaya kini hampir menangis; bukan karena tatapan Ian yang daritadi seakan melubangi kepalanya, tapi karena bawang yang sedari tadi membuat matanya perih.
"Saya tahu, memangnya kenapa?" kata Ian sambil tersenyum tipis, ia hanya suka memandangi wajah-hampir-menangisnya Ismaya.
"Saya terganggu! Berhenti memandangi saya atau masakan chef akan gosong!"
"Walaupun masakan saya gosong, rasanya akan tetap enak."
Mata Ismaya mulai mengeluarkan airnya ketika menatap sosok Ian yang sekarang memiliki tingkat kepercayaan diri yang sangat tinggi. Biasanya pria itu lebih menyerupai tembok.
Sementara Ian terkekeh pelan melihat wajah Ismaya yang kini sudah berurai air mata. Rasanya menyenangkan, bekerja dengan gurauan santai seperti ini.
Ismaya mulai terisak dengan pisau yang masih setia mengiris bawang-bawang sialan ini, "Sa-Saya biasanya tidak be-begini. Saya kuat terhadap bawang," kata-kata Ismaya mulai tersendat karena perih yang dirasakan matanya.
"Saya tahu. Mungkin sekarang kamu sedang terpengaruh ucapan saya."
"Hah?"
"Yah, perkataan saya yang ingin menjaga kamu. Mungkin kamu hanya terharu."
Ismaya mencibir, "Hanya dalam mimpi."
Ian yang mendengar cibiran Ismaya hanya dapat tersenyum kecil. Jarang-jarang Ismaya menyuarakan isi pikirannya seperti sekarang ini. "Jangan hiraukan tatapan saya, Ismaya. Saya hanya ingin melihat kamu menangis."
"Jadi chef senang melihat saya menangis?"
"Tentu. Menangis karena saya." Ismaya mendongak menatap wajah Ian yang kini memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Saya tidak menangis sekarang dan tidak akan menangis karena chef. Jadi kembalilah bekerja."
Biasanya kalimat terakhir Ismaya hanya dapat dikeluarkan oleh seorang atasan. Atau mungkin Pak Manajer. Ia jadi heran kenapa Ian sekarang bisa lupa dengan sikap wibawanya.
"Saya tahu kamu tidak menangis karena saya. Setidaknya belum."
"Kalau chef sudah tahu, kenapa tidak lanjutkan saja pekerjaan chef?"
"Kalau saya berhasil membuat kamu menangis, apa hadiah untuk pria tampan seperti saya?"
Sejurus kemudian, Ismaya meletakkan pisau dan bawang-bawang itu dan mengambil bungkusan tepung yang tergeletak tak jauh dari tempatnya sekarang. Kini rencana jahat telah memenuhi kepalanya.
"Jangan, Ismaya! Saya baru saja mencuci muka."
Ismaya tidak peduli. Ini akibatnya kalau terlalu percaya diri.
"Rasakan!"
Siang itu berakhir dengan adegan kejar-kejaran antara Ian dan Ismaya. Tepung yang berhamburan di kedua wajah muda-mudi itu tidak lantas menghilangkan senyum keduanya. Untuk kali pertama, Ismaya membiarkan dirinya tertawa lepas semenjak kepergian Aldrich dari flatnya malam itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life
RomanceHidup seorang wanita di umurnya yang sudah menginjak seperempat abad sejatinya penuh dengan kebahagiaan akan rencana-rencana masa depan untuk membuka lembaran baru. Tapi tampaknya kebahagiaan adalah satu kata besar bagi seorang Ismaya Hariani. Fakta...