Dengan gerakan perlahan tapi pasti, Ismaya menekan password flatnya sendiri. Rasa lelah sedari tadi sudah menghinggapi tubuhnya sehingga mandi air hangat merupakan pilihan terbaik untuk saat ini. Setelah mengetahui kondisi Ismaya yang mengenaskan karena baru saja mengalami kecelakaan, Pak Manajer akhirnya memiliki sedikit hati nurani untuk membiarkan Ismaya pulang dua jam sebelum waktu jam kerja berakhir. Perlu ditekankan, hanya sedikit karena pada akhirnya Ismaya kembali pasrah dicaci-maki karena keterlambatannya.
Beberapa rekan kerjanya di dapur tampak mengasihaninya tadi, terbukti dengan senyum iba yang ditujukan untuknya. Namun itu semua tidak dipedulikan Ismaya. Rasa kasihan dan prihatin memang sudah sering diperlihatkan orang-orang, yang seakan-akan ikut bersedih dengan kejadian yang terus-terusan membuatnya terpuruk. Ia membenci setiap kali orang-orang mengasihaninya, maka ia terus membangun tembok untuk mengindar dari rasa kasihan itu.
Ismaya melangkah masuk dengan gontai, kakinya yang diperban masih terasa sakit ketika dipaksakan untuk berjalan. Perih yang dirasakannya bertambah setiap kali melihat flatnya yang kosong. Sendirian adalah salah satu musuh terbesar Ismaya. Namun seberapa sering pun Ismaya merapalkan doa kepada Yang Maha Kuasa, Ismaya tetap berakhir termenung sendirian di balkon flatnya, memandangi hiruk-pikuk jalanan di bawah sana.
Ditemani oleh kesunyian yang terus mendampingi kemanapun ia melangkah, Ismaya kadang berpikir bagaimana rasanya berkumpul kembali dengan keluarganya yang sudah jauh berada di atas sana, yang selalu ia lihat setiap kali memandang langit di atas kepalanya. Bagaimana ayah, ibu, dan kakak yang terlihat berangkulan memandangnya, membuat Ismaya tersenyum. Senyum samar. Pemandangan itu menjadi sumber kekuatan bagi Ismaya untuk tetap bertahan hidup. Walaupun mungkin hanya untuk sementara.
***
Pagi ini menjadi pagi yang seharusnya di jalani oleh Ismaya. Rutinitas, kegiatan yang selalu di jalaninya selama hampir lima tahun. Tidak ada yang berbeda hari ini.
Chef Ian, Pak Manajer. Tidak ada yang berubah.
Sudah sering Ismaya memikirkan kemungkinan untuk resign sebagai Asisten Chef, namun nyali Ismaya rasanya belum cukup untuk memikirkan kemungkinan bekerja selain sebagai seorang Asisten Chef.
"Ismaya."
Panggilan Chef Ian seketika membuyarkan lamunan Ismaya yang membuatnya hampir saja mengiris jarinya sendiri. Dengan perlahan ia mendekati station Ian.
"Ya chef? Ada apa?"
"Tolong kamu siapkan bahan-bahan untuk dessert preparation. Entrée sudah selesai disajikan lima menit yang lalu dan kita akan membuat dessert sebentar lagi." Chef Ian berkata dengan cekatan. Pria tegap itu kadang lebih cocok menjadi aktor atau model dengan kualitas yang dimilikinya. Mata coklat tajam yang mampu membuat Ismaya gugup apabila melakukan kesalahan, ditambah dengan senyum manis yang ditunjukkannya apabila customer merasa puas dengan hasil kerjanya.
"Baik chef."
"Ismaya, apa kamu baik-baik saja? Bagaimana dengan lukamu?" tanyanya. Chef Ian menunjukkan ekspresi datar andalannya namun dalam pertanyaannya tersirat nada khawatir melihat keadaan kaki Ismaya.
Sembari mengerjakan tugasnya Ismaya melirik Ian sekilas dan sedikit tertegun ketika menyadari nada khawatir dalam pertanyaan bosnya. Namun pada akhirnya ia memilih untuk tidak menghiraukannya.
"Saya baik-baik saja kok chef. Hanya perlu sedikit istirahat."
"Kalau begitu kenapa kamu masih bekerja sekarang?"
"Karena saya sedang di hukum oleh Pak Manajer perihal masalah keterlambatan saya kemarin. Beliau pikir saya ingin membolos."
Kadang Ismaya tidak habis pikir tentang sikap Pak Manajer yang begitu semena-mena kepadanya. Padahal ia disini hanya ingin bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, tapi mengapa Pak Manajer selalu mencoba untuk menjegal langkahnya?
Mendengar penuturan Ismaya, Ian akhirnya tidak membuka suara lagi. Ia hanya membiarkan Ismaya melakukan tugasnya sendiri. Ian kadang melihat Ismaya sebagai sosok yang begitu rapuh namun kuat di saat yang bersamaan, dengan segala permasalahan yang menimpa gadis itu pada akhirnya gadis itu akan selalu berakhir di dapurnya.
Dengan sekali gerakan Ismaya sudah terduduk di bangku yang berada di pojok dapur, yang biasanya digunakan oleh Ian untuk sekedar beristirahat dari tugasnya sebagai Head Chef di restoran ini. Ismaya bingung, tidak mengerti dengan apa yang coba Ian lakukan padanya.
"Umm, chef? Sedang apa?"
"Kamu tidak lihat? Saya sedang mengompres luka kamu." Ian memperlihatkan bungkusan kain berisi batu es yang kini sudah setia menempel di kaki Ismaya. Ekspresi datarnya menunjukkan ketidakpedulian, namun gerakannya menunjukkan hal sebaliknya. Ismaya tersenyum dalam hati.
"Tapi saya baik-baik saja chef." Ismaya berkata dengan lembut, ia sangat menghargai bantuan yang ditawarkan oleh Chef Ian namun di sisi lain ia tidak ingin melihat orang lain menyaksikan kejadian ini.
"No, you're not. Sekarang diam dan menurut." Ian masih terlihat berkonsentrasi dengan memar di kaki Ismaya yang kini tampak begitu menarik dan tidak menyadari tatapan bingung Ismaya yang ditujukan padanya.
Kini Ismaya tampak sibuk dengan pikirannya sendiri, sedangkan Ian masih saja mengompres memar di kaki Ismaya.
"Bagaimana dengan prep-nya chef?" kata Ismaya, setelah beberapa saat hening di antara mereka.
Kali ini pertanyaan Ismaya berhasil mengalihkan fokus Ian dan menyadarkannya, bahwa ia dan gadis di depannya ini masih memiliki tugas yang harus diselesaikan.
"Ehem." Ian berdeham untuk menghilangkan rasa canggungnya karena ketahuan terlalu fokus mengompres Ismaya, sebelum melanjutkan kalimatnya, "Itu tadi hanya distraction bagi saya karena akhir-akhir ini customer sering rewel."
Ismaya terkekeh pelan, akhirnya ada yang membuatnya tersenyum. "Iya, saya tahu chef."
Ian tertegun meskipun hanya sesaat, karena detik berikutnya ia sudah dapat mengontrol ekspresi wajahnya kembali. Dengan gerakan sedikit lambat, Ian berdiri dan berkata, "Baguslah kalau kamu tahu," sebelum berlalu pergi dari hadapan Ismaya.
Nada dingin yang terdengar jelas dari kalimat terakhir bosnya membuat Ismaya mengerutkan keningnya heran. Kadang bosnya itu bisa sangat menyebalkan, namun bisa juga berubah baik seperti sekarang ini. Pada akhirnya Ismaya hanya mengangkat bahunya tidak peduli, karena tugasnya masih banyak selain memikirkan perubahan sikap bosnya.
***
Ismaya melangkah turun dari mobil Ian. Pria itu memaksa untuk mengantarnya pulang – meskipun ia berdalih bahwa rumahnya searah dengan rumah Ismaya – dan tidak menerima penolakan. Setelah menutup pintu mobil dan mengucapkan terima kasih, mobil Ian akhirnya menghilang di belokan bersamaan dengan Ismaya yang melangkahkan kakinya menuju pintu flatnya.
Setelah pintu terbuka, Ismaya bisa melihat televisinya menyala dan keberadaan seseorang yang sekarang duduk di sofa, tampak sedang fokus menonton apapun yang ada di depannya.
Ada orang lain selain dirinya. Sesuatu yang hampir tidak pernah terjadi belakangan ini.
"Siapa kamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Life
RomanceHidup seorang wanita di umurnya yang sudah menginjak seperempat abad sejatinya penuh dengan kebahagiaan akan rencana-rencana masa depan untuk membuka lembaran baru. Tapi tampaknya kebahagiaan adalah satu kata besar bagi seorang Ismaya Hariani. Fakta...