Seminggu kemudian.
"Selamat siang, sus." Ismaya menyapa suster Diana, suster penanggung jawab Ian.
"Siang, Ismaya. Mau menjenguk Fabian ya?"
"Iya sus. Masa mau nonton dia main bola muehehe," Ismaya nyengir, "Saya permisi dulu kalau begitu."
Sekarang Ismaya sudah berjalan cepat menuju kamar Ian, tangannya sibuk membawa bunga dan bungkusan berisi makanan untuk dirinya sendiri. Rencananya siang ini, ia akan menyantap makanannya di kamar inap pria itu – seperti yang sudah-sudah.
Seminggu berlalu, dan selama itu pula Ismaya seperti tidak mau meninggalkan sisi Ian barang sedetik pun. Gadis itu hanya akan pergi saat bekerja lalu sepulangnya ia akan setia menunggui Ian sampai malam.
"Selamat siang bosqu! Kabarmu hari ini gimana nih?"
Dan lama-lama Ismaya terbiasa mengajak kekasihnya mengobrol seperti itu meskipun pria itu masih dalam keadaan koma.
"Tebak aku membawakan apa," Ismaya menunjukkan buket bunga matahari yang ia bawa, "Sunflower! Mereka cantik bukan." katanya, kali ini sambil menatap bunga-bunga itu lembut.
Untuk sesaat perasaan sesak itu datang, matanya yang sembab kembali berair. Mungkin Ismaya berhasil membohongi dirinya sendiri dengan bersikap pura-pura tegar dan ceria karena janji pada dirinya sendiri untuk selalu berpikiran positif – berharap agar energinya dapat dirasakan Ian; tetapi hatinya masih berduka karena kecelakaan yang dialami pria itu.
Ismaya menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak ada gunanya mengingat-ngingat kejadian yang sudah terjadi. "Hari ini aku terpilih menjadi staff of the month lho Ian. Kamu pasti bangga dong, secara pacarmu yang cantik ini berbakat sekali ternyata." Ismaya mengibaskan rambutnya beberapa kali, untungnya ia tidak sampai menirukan gerakan kibasan rambut trio macan.
"Belakangan ini aku selalu menolak ajakan makan siang Jen sama Hana nih, aku kan jadi tidak enak."
"Makanya kamu harus cepat bangun Fabian. Ini perintah!" Ismaya memandang Ian, kedua tangannya bergerak menyelimuti pria itu.
"Lagipula kamu janji akan mengajari aku main gitar sampai aku bisa." Gadis itu menatap Ian sayang.
Setelah mengganti bunga-bunga diatas meja, Ismaya bergerak menarik kursi dan membuka bungkusan makanannya. Ia menaruh kotak makannya diatas kasur Ian, seolah-olah mereka sedang piknik bersama.
Ian dengan selangnya dan Ismaya dengan kotak makannya.
Dengan sedikit terburu Ismaya membuka tutup kotak kardus itu dan seketika saja merasa kecewa dengan isinya.
"Astaga, usus lagi!" Ismaya mengerutkan keningnya dan mendesah pelan, "Kenapa catering-nya tidak kreatif sekali sih."
"Kau tahu kan kalau aku paling tidak suka usus?"
"Sepertinya kamu tidak tahu." kata Ismaya setelah sebelumnya ia terlihat berpikir untuk sesaat.
"Tapi kamu pernah menawariku makan usus yang katamu enak itu ya," Ismaya terkekeh pelan, teringat dengan perkataan Ian waktu di angkringan itu, "Aku hanya ingin makan usus buatan nenekmu."
Ismaya menyuapkan sesendok makanannya, terasa pahit. Faktanya, ia kehilangan nafsu makannya seminggu belakangan ini.
"Hm, pahit sekali. Apa mungkin mereka jadikan arang sebagai pengganti garam?"
"Aku ingin makan masakan kamu Ian," Sambil berkata seperti itu, sebelah tangan Ismaya terangkat menggenggam tangan Ian, "Jadi, cepat bangun." bisiknya kemudian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life
RomanceHidup seorang wanita di umurnya yang sudah menginjak seperempat abad sejatinya penuh dengan kebahagiaan akan rencana-rencana masa depan untuk membuka lembaran baru. Tapi tampaknya kebahagiaan adalah satu kata besar bagi seorang Ismaya Hariani. Fakta...