Aku akan menikah.
Satu kalimat itu saja mampu membuat kepala Ismaya berdenyut hebat. Dadanya nyeri. Sahabatnya menikah tapi ia tidak senang sama sekali. Sebutlah Ismaya kejam, tapi disaat satu-satunya sumber kebahagian dan penyemangat hidupmu akan membuka lembaran baru tanpamu disaat hidupmu bergantung padanya, percayalah rasanya sungguh menyakitkan. Ismaya baru saja tersenyum bahagia mendapati kepulangan sahabatnya yang sungguh membahagiakan, sekarang ia harus kembali menerima kenyataan pahit; kemungkinan untuk ditinggalkan selamanya.
Hidup memang selalu tidak berpihak kepadanya.
Memang ketika Aldrich menikah dengan Serena – calon istrinya – tetap akan ada waktu bagi Ismaya untuk bertemu dengan Aldrich. Namun sifat pesimis Ismaya sama sekali tidak membantu. Kepalanya terus saja berdenyut meskipun ia sudah meminum aspirin tadi. Merasakan sakit yang tidak berkesudahan, Ismaya akhirnya memilih untuk berbaring di sofa meskipun hal itu tidak mengurangi perih di dadanya.
***
"Aku akan menikah."
Sebuah kerutan timbul di dahi Aldrich, alisnya tampak menyatu sekarang. Namun sejurus kemudian, ia memandang Ismaya yang tidak bergeming ataupun menanggapi ucapannya.
Ismaya yakin pendengarannya masih baik-baik saja. Ia juga yakin tidak salah dengar. Tapi pikirannya seolah menolak untuk mencerna satu kalimat yang keluar dari bibir Aldrich. Ismaya secepat mungkin menutupi perasaannya yang kacau. Padahal beberapa waktu yang lalu baru saja ia dapat tertawa sejenak, melepaskan semua beban di pundaknya yang selama ini selalu ia tanggung sendirian.
"Selamat Ald." Tidak, jangan.
Ismaya kini memandang Aldrich, memaksakan senyum manis yang kini terasa sulit untuknya. Aldrich melihat senyum Ismaya, sebelas tahun berteman dengan gadis ini membuat Aldrich tahu setiap gerak-geriknya. Seperti saat ini, Ismaya sedang mencoba untuk tersenyum bahagia. Demi dirinya. Tapi kenapa?
Aldrich tidak membalas ucapan selamat Ismaya, ia tidak mengerti kenapa keadaannya menjadi rumit seperti ini.
"Hey, kenapa melamun? Kamu harusnya senang sekarang." Ismaya memukul pelan lengan Aldrich, berusaha bercanda.
"Kamu bahagia Ay?"
"Tentu saja." Tidak, Ald. "Sudah pasti aku bahagia dengan keputusanmu menikah kan? Sahabat macam apa yang tidak bahagia mendengar sahabatnya sendiri menikah." Ismaya tertawa pelan, merasa miris dengan kalimatnya sendiri.
Tidak lama setelahnya, ponsel Aldrich berbunyi. Serena menanyakan keberadaannya karena memang sedari tadi ia hanya berdiam di flat Ismaya. Masih dengan kerutan di dahinya, Aldrich beranjak pergi setelah mengucapkan perpisahan pada Ismaya dengan pandangan datar dan kaku. Perpisahan terburuk sepanjang pertemanan mereka.
***
Ismaya terbangun keesokan harinya, merasakan pegal pada sekujur tubuhnya karena tidur semalaman di sofa yang tidak nyaman.
Tangannya terangkat mengusap wajahnya, yang kemudian terhenti karena mendapati basah pada pipinya. Ismaya kemudian menyadari kalau ia menangis karena mimpi semalam. Mimpi dimana ia tidak punya siapa-siapa di dunia ini, meskipun sayangnya hal itu hampir menjadi nyata sekarang.
Bahkan alam bawah sadarku menolak berbahagia untuk Aldrich.
Ismaya menghela nafasnya pelan, hidupnya memang selalu tidak mudah. Ia lalu beranjak dan merapikan dirinya bersiap-siap pergi bekerja.
Sekitar lima belas menit kemudian, Ismaya akhirnya tiba di restoran tempatnya bekerja yang bisa dibilang memiliki dekorasi yang jauh dari kata rendahan. Pintu utamanya kokoh bercat hitam serasi dengan desain jendela bening dengan dekorasi sulur-sulur hitam di sekelilingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life
RomanceHidup seorang wanita di umurnya yang sudah menginjak seperempat abad sejatinya penuh dengan kebahagiaan akan rencana-rencana masa depan untuk membuka lembaran baru. Tapi tampaknya kebahagiaan adalah satu kata besar bagi seorang Ismaya Hariani. Fakta...