"Siapa kamu?"
Ismaya mulai gemetar, seketika trauma masa lalu menghinggapi pikirannya. Tangan dan kakinya terasa lemas bahkan untuk mencapai saklar saja membutuhkan usaha ekstra.
"Kamu lupa sama aku? Jahat."
Suara pria. Ya, Ismaya yakin pernah mendengar suara itu untuk waktu yang lama. Suara yang selalu muncul di mimpinya.
"Al-Aldrich?" katanya terbata.
"Welcome home, Ay." Aldrich tersenyum dan memandang Ismaya sendu.
Tidak butuh waktu lama ketika Ismaya berlari - bahkan ia melupakan rasa sakit dan trauma yang menderanya - demi menghampiri sosok pria yang begitu ia rindukan selama ini.
Ismaya kemudian duduk di samping Aldrich dan memeluknya seakan-akan gadis itu baru saja mendapatkan pasokan udaranya kembali. Aldrich hanya bisa membiarkannya sembari mengelus rambut Ismaya pelan. Akhirnya setelah beberapa saat berpelukan Ismaya melepaskan pelukannya demi melihat pria yang selama ini selalu mengisi hidupnya, hingga saat dimana Aldrich memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke London, meninggalkan Ismaya sendirian.
"Kamu kapan pulang?" Ismaya menatap Aldrich langsung ke manik matanya. Sorotnya meneriakkan kata-kata rindu.
"Sudah dari beberapa jam yang lalu. Penerbangan dari London ke Indonesia sangat melelahkan." Aldrich berkata sambil menunjukkan ekspresi sedih yang dibuat-buat, karena Ismaya tahu kalau pria itu selalu mencintai London.
"Bagaimana kabarmu, Ay?" lanjutnya lagi.
"Aku tidak begitu baik, Ald." Ismaya merenung, kali ini bukan memikirkan nasib hidupnya seperti yang selalu ia lakukan, melainkan mengingat-ingat kapan terakhir kali ia dan Aldrich berbicara seperti ini.
"Benarkah? Bagaimana bisa? Lalu itu, kenapa dengan kakimu?" Aldrich menunjuk kaki Ismaya yang dibalut perban dengan ekspresi tidak suka.
"Oh, ini? Hanya kecelakaan kecil. Bukan masalah besar."
Ismaya mencoba untuk meyakinkan Aldrich dengan kemampuan meyakini orang lain yang selama ini selalu berhasil ia lakukan karena pada akhirnya orang-orang akan berhenti memedulikan dirinya.
Namun tampaknya kemampuan meyakini Ismaya tidak berdampak bagi Aldrich karena pria itu selalu saja was-was dengan hal yang terjadi padanya.
"Sungguh?"
Desahan kecil keluar dari bibir Ismaya. Ia menyadari apa yang akan terjadi selanjutnya selama beberapa menit ke depan.
***
Aldrich terus saja menanyakan keadaan kaki Ismaya di sela-sela obrolan mereka, dan hal itu membuat Ismaya bosan karena berarti ia juga sudah berkali-kali meyakinkan Aldrich untuk berhenti khawatir dengan keadaan kakinya.
"Kamu tidak berubah ya Ald."
"Tidak berubah apanya?" Aldrich memandang Ismaya dengan tatapan heran.
"Sifat cerewet kamu. Berisik sekali."
"Hey! Tapi kamu kangen 'kan sama aku yang begini?" Aldrich tersenyum, memandang sahabatnya dengan jenaka. Senyum tidak henti-hentinya lepas dari kedua bibir mereka.
"Yah, untuk kali ini saja Ald," kata Ismaya lalu terkekeh, karena biasanya Aldrich yang kalah, "Kamu tumben kesini tidak mengabari aku dulu. Ini sudah berapa tahun ya Ald? Dua? Tiga?"
"Dua setengah tahun dan aku ingin memberikan kejutan untukmu."
"Kalau tujuan kamu untuk memberi kejutan, aku sangat terkejut tadi. Kamu berhasil." Ismaya menunduk menatap sebelah tangannya yang meremas gelisah tangannya yang lain, teringat akan trauma yang sempat menyerangnya lagi tadi.
Secepat kalimat itu keluar, secepat Aldrich menyesali perbuatannya barusan. Melihat Ismaya yang ketakutan seperti ini membuat Aldrich merasakan penyesalan yang teramat sangat karena mengingatkan Ismaya akan kejadian itu.
"Maafkan aku Ay. Aku tidak bermaksud - "
"Sudahlah tidak apa-apa Ald. Aku saja yang mungkin masih terlalu paranoid." Ismaya memotong kalimat Aldrich dengan kalimatnya untuk menenangkan dirinya sendiri. Setelah berhasil mengendalikan dirinya, Ismaya menatap Aldrich dengan senyum manis di bibirnya. "Kamu sudah makan? Aku bisa membuatkanmu sesuatu."
"Kau tahu? Sekarang aku ingin sekali makan spaghetti."
"Kalau begitu kamu datang ke orang yang tepat."
Ismaya hendak beranjak ke dapur namun seketika terhenti karena melihat pakaian Aldrich yang kelewat santai untuk berada di rumah orang lain; meskipun Ismaya memang bukan orang lain bagi Aldrich. Tapi tetap saja. Kaus hitam tidak berlengan yang memiliki lubang tangan lebar dipadukan dengan celana boxer putih.
Bagaimana kalau dia berkeliaran seperti itu di jalan-jalan di London? Memikirkan kemungkinan itu saja sudah membuat Ismaya tersenyum. Sahabatnya memang kelewat percaya diri, nyaris tidak tahu malu.
Anehnya setiap pakaian yang dikenakan pria itu selalu cocok untuknya. Semua seperti mendukung penampilan dan aura yang seolah-olah meneriakkan 'Gentleman' dari tubuh Aldrich.
Dia tidak berubah, selalu saja santai sejak dulu.
"Kenapa kamu memandangiku seperti itu?" Aldrich tersenyum dikulum melihat kelakuan sahabatnya yang seperti tidak ingin berpisah darinya.
"Tidak usah terlalu percaya diri. Itu ada nyamuk di dahimu."
"Mana?"
"Sebentar, biar kupukul."
PLAK
Ismaya tidak segan menepuk jidat Aldrich dengan cukup keras, meninggalkan Aldrich yang termangu mendapatkan cap tangan Ismaya yang terasa perih di dahinya. Awalnya Aldrich percaya-percaya saja, namun melihat Ismaya yang kini sudah terbahak-bahak hingga memegangi perutnya, Aldrich seketika kesal.
"Terus saja tertawa. Teruskan hingga kamu tidak bernafas."
Nada jengkel Aldrich tidak membuat tawa Ismaya mereda, malahan membuatnya semakin menjadi-jadi. Kini air mata sudah hampir keluar dari sudut-sudut matanya.
"Astaga dragon," ucap Ismaya sambil menyeka air matanya, "Kamu tidak terlihat seperti mahasiswa yang baru kembali dari London."
"Dan kamu terlihat seperti ibu-ibu yang selalu benar dan tidak mau mengalah Ay." Aldrich balik mencibir Ismaya, teringat akan kejadian rebut-rebutan taksi saat di bandara tadi. Sungguh tega. Padahal Aldrich yang duluan mendapatkan taksi itu, tetapi ibu itu tiba-tiba saja menghampiri dan mengomeli Aldrich karena menyelak taksinya. Menyelak bagaimana caranya jika Aldrich berada di pintu taksi itu lima menit lebih dulu daripada ibu-ibu itu.
Untung saja sudah tua, kalau tidak? Aku juga tidak akan berani.
Ismaya sudah menghentikan tawanya ketika melihat Aldrich yang melamun. Mungkin sesuatu yang penting, - Aldrich sedang berpikir cara terbaik untuk membalas dendam, Ay - ia lalu melangkahkan kakinya menuju dapur, bersiap membuatkan makan malam.
***
Selesai makan malam, Ismaya dan Aldrich memilih untuk kembali berselonjor di sofa dengan posisi yang persis seperti saat mengobrol tadi; kepala Ismaya bersandar di bahu Aldrich sambil mengobrol santai. Televisi yang sedari tadi menayangkan acara horor tidak mengubah atmosfir bahagia yang tercipta di antara keduanya, meskipun Ismaya atau Aldrich tidak sampai ke tahap dimana menertawai setan-setan yang bermunculan di acara tersebut.
"Ay.." panggil Aldrich ketika untuk beberapa saat hening diantara mereka.
"Iya Ald?"
"Aku.. Aku sebenarnya kesini untuk memberitahu kamu sesuatu," kali ini Aldrich serius, tubuhnya sudah tegak, tidak lagi bersender di sofa.
Ismaya menyadari keseriusan Aldrich yang jarang sekali terjadi. Biasanya pria itu akan serius hanya ketika meminta maaf atau meminta Ismaya melakukan sesuatu untuknya.
"Apa itu Ald?" Ismaya ikut-ikutan duduk tegak, kali ini memandang rahang tegas Aldrich dari samping.
"Aku akan menikah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Life
RomanceHidup seorang wanita di umurnya yang sudah menginjak seperempat abad sejatinya penuh dengan kebahagiaan akan rencana-rencana masa depan untuk membuka lembaran baru. Tapi tampaknya kebahagiaan adalah satu kata besar bagi seorang Ismaya Hariani. Fakta...