Menit demi menit berlalu tetapi Ian masih bertahan di posisinya; menangis memeluk nisan batu yang menjadi saksi bisu betapa ia berduka hari itu. Seragam rumah sakitnya telah ternoda tanah tetapi ia tidak peduli. Sakit di daerah perutnya tidak bisa dibandingkan dengan sakit di hatinya karena kehilangan.
Segala kebersamaan yang telah mereka lalui, suka duka selama ini, terus saja terputar di otaknya bagai kaset rusak. Air matanya kembali jatuh, baru kali ini ia menangis selama hidupnya sebagai laki-laki dewasa.
"Maafkan aku," kalimat itu terus saja diucapkan Ian, seolah-olah pengorbanan orang terkasihnya itu sia-sia belaka.
"Aku harusnya membahagiakanmu." Kembali, setetes air mata jatuh bersamaan dengan tangannya yang menyentuh permukaan makam itu.
"Bukannya seperti ini. Kau sudah terlalu banyak berkorban untukku."
Ian masih saja meratapi kepergian orang itu, sampai langit mulai gelap dan menitikkan airnya, seolah-olah ikut bersedih bersama pria itu.
Ia bahkan sudah tidak peduli dengan luka bekas operasi transplantasi hati yang dijalaninya, walaupun dokter dan Suster Diana telah mewanti-wanti agar badannya tidak terkena air dahulu untuk sementara.
Tangannya masih mengelus batu nisan itu perlahan, sambil sesekali menyentuh bunga-bunga diatasnya yang terlihat masih segar. Tak lupa ia taruh buket bunga yang dibelinya tadi sewaktu perjalanan kemari. Ia masih mengelus batu nisan itu perlahan. Sampai tiba-tiba saja, matanya menangkap sosok itu.
Sosok yang dikiranya akan berada disampingnya disaat ia terbangun dari koma.
Sudah beberapa hari ini ia mencoba mengontaknya, tapi jawabannya nihil. Frustasi karena kehilangan orang terdekatnya, ia memutuskan untuk sejenak mengistirahatkan mental dan fisiknya dulu. Tetapi, siapa sangka ternyata Tuhan mempertemukan mereka di pemakaman yang terlihat suram ini.
Sosok itu terlihat murung, dengan buket-buket bunga memenuhi tangannya. Perlahan-lahan dirinya mendekati makam-makam yang terlihat berdampingan.
Ian menajamkan penglihatannya, sekarang sosok itu berjongkok dan menaruh payung yang digunakannya tadi karena hujan telah berhenti. Satu tangannya membuka tudung hitam yang dikenakannya, dan Ian bersumpah kalau ia langsung berlari dan memeluk sosok itu di detik selanjutnya.
"Kenapa kamu meninggalkanku?" satu pertanyaan yang selama ini menggerogoti pikiran Ian, akhirnya terlontarkan juga.
"Aku tidak pernah meninggalkanmu, Fabian. Tidak sedetikpun," suara Ismaya terdengar pelan dan bergetar.
"Lalu kenapa kamu menghilang," kata pria itu, semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Ismaya.
"Lucu sekali kamu. Memangnya siapa yang menghilang di hari terakhir kita bertemu," kali ini Ismaya terpancing emosinya sendiri.
"Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri kalau kamu sampai kenapa-kenapa."
"Maafkan aku," sudah entah yang keberapa kalinya Ian meminta maaf hari ini.
"Aku.. aku berpikir kalau aku akan menjadi sebatang kara lagi, Ian. Aku pikir aku tidak punya kesempatan untuk membuat hidupku lebih berwarna dari sekedar hitam putih," air mata Ismaya meleleh pelan, bersamaan dengan setiap keresahan yang keluar dari bibirnya.
"Padahal, padahal kamu sudah berjanji untuk terus bersamaku bukan? Kamu bahkan berjanji untuk mengajariku main gitar!"
"Maaf. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi."
"Jangan terlalu banyak berjanji, buktikan saja ucapanmu," kata Ismaya, tangannya menghapus air matanya dengan sedikit kasar.
Ian yang menyadari kalau Ismaya masih – sangat – kesal dengannya, akhirnya memutuskan untuk berhenti berbicara dan membiarkan posisi mereka yang seperti ini. Rasanya hening dan damai sekali. Suasana menyedihkan khas pemakaman tidak mengurangi rindu diantara keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life
RomanceHidup seorang wanita di umurnya yang sudah menginjak seperempat abad sejatinya penuh dengan kebahagiaan akan rencana-rencana masa depan untuk membuka lembaran baru. Tapi tampaknya kebahagiaan adalah satu kata besar bagi seorang Ismaya Hariani. Fakta...